Rabu, 27 April 2016

MUHAMMAD IRWANSYAH Makalah Kekuatan Acara Perdata



MAKALAH
KEKUATAN PUTUSAN PENGADILAN HUKUM ACARA PERDATA



DISUSUN OLEH:
Muhammad Irwansyah
0701514035



UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
2015





BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
            Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan - peraturan yang  memuat tata cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan tata cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan - peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang harus dijalani sesuai dengan apa yang telah diatur didalamnya. Tanpa adanya hukum acara perdata, maka mustahil hukum perdata materiil dapat dilaksanakan.
            Tujuan dari suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya dalam suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir, jika perlu dengan paksaan.[1]
            Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi tujuan. Oleh karena itu penulis akan menguraikan secara lebih detail bagaimana tata cara dan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh hakim dalam mumbuat sebuah putusan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang – undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal demi hukum. [2] 


2. Rumusan Masalah
                Dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahan hanya tehadap beberapa hal dengan harapan agar dalam merumuskan sesuatu dapat lebih focus dan terarah. Hal ini akan memudahkan pembaca untuk memahami apa yang dimaksud dalam makalah ini, berbeda ketika suatu pembahasan yang panjang dan bertele-tele tentunya akan menggiring pembaca pada hal hal lain yang bahkan akan melenceng dari tujuan penulisan makalah ini. Untuk itu pada makalah ini penulis hanya akan menguraikan terbatas pada :
1.      Pengertian Putusan Pengadilan
2.      Jenis – jenis Putusan Pengadilan
3.      Asas Putusan Hakim
4.       Kekuatan Putusan Pengadilan

3.      Tujuan Penulisan
                Dengan tulisan ini diharapkan semua pihak khususnya pembaca dapat memahami apakah arti putusan pengadilan, bagaimanakan sistematika atau susunan putusan itu harus dibuat, lalu jenis-jenis putusan pengadilan itu dan kemudian yang terakhir bagaimana kekuatan sebuah putusan sehinga dapat dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara.





BAB II
PEMBAHASAN

I). Pengertian  Putusan Pengadilan
                Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa : "Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. (Dewi, 2005, hal: 148).
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik [5] dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik [6] dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.[7]
Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepda pihak yang berperkara. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
2). Jenis – Jenis Putusan
Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya dapat berjalan secara cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang murah.
Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara
2. Penetapan / beschikking :suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
A. Putusan Sela atau Putusan interlokutoir 
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu :
1.       Putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir
2.       Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir
3.       Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
4.       Putusan provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
B). Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. Macam-macam putusan akhir adalah sbb. :
1.      Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.

2.      .Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.
3.      Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.
C).Asas Putusan Hakim    
            Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
            Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang – undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adapt baik tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) hakim wajb mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.

2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
            Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memerriksa sebagian saja dari tuntutn yang diajukan oleh penggugat.
3.Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
            Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
4.Diucapkan di Muka Umum
Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.
Namun dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan, pelnggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.
IV.  Susunan dan Isi Putusan Pengadilan
                Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR [9] , Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Menurut ketentuan undang undang ini, setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut :


1). KepalaPutusan
                Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
2). Identitas pihak yang berperkara
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
3).Pertimbangan atau alasan-alasan
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu  pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya,Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970
4).Amar atau diktum putusan
Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.
5). Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187 R.Bg., bahkan dalam 183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
5).Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu :
Ada tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan majelis hakim yaitu:
1.Kekuatan Mengikat
 Kekuatan mengikat ini adalah suatu kemestian yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu untuk menentukan bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah pihak untuk menentukan hukum menguasai soal yang menjadi perkara itu. Untuk dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau di adili, hal ini mengandung pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati kedua belah pihak.
2. Kekuatan Bukti
Dalam kekuatan ini dituangkan putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi dan pelaksanaannya. Pengaturan kekuatan pembuktian dalam putusan pidana (Pasal 1918 dan 1919 BW) mengatur sebagai putusan pidana yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa yang telah terjadi, kecuali apabila ada bukti lawan kekuatan pembuktiannya mengikat (Pasal 1918 BW) dan apabila seseorang dibebaskan dari segala tuduhan, maka putusan pembebasan itu tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata untuk minta ganti kerugian (Pasal 1919 BW). Kalau kekuatan pembuktian putusan pidana diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, maka kekuatan putusan pembuktian perdata tidak ada ketentuannya. Putusan perdata pun mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana diserahkan kepada pertimbangan hakim.
4.Kekuatan Eksekutorial
 Kekuatan eksekutorial adalah putusan di maksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.Untuk itu apa yang telah ditentukan majelis hakim dalam putusannya harus dilaksanankan walaupun banyak orang membantahnya. Kekuatan eksekutorial putusan hakim tidak dapat dilumpuhkan, kecuali apabila telah dipenuhi dengan sukarela.






BABIV
PENUTUP
1.Kesimpulan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara sengketa antar pihak. Putusan yang dibuat oleh hakim haruslah mengikuti tata cara yang disyahkan oleh perundang - undangan yang ada, melalui yurisprudensi, kebiasaan –kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.

Sistematika atau susunan putusan harus mengacu pada ketentuan yang ada, untuk itu dalam edaran S.E.M.A telah diberikan semacam guidance atau petunjuk agar sebelum hakim membacakan putusan agar terlebih dahulu membuat konsep putusan tersebut, hal ini dimaksuudkan agar pada saat pembacaan putusan tidak terjadi kesalahan yang fatal yang dapat berakibat cacat sebuah putusan.

Pelanggaran, kelalaian atau kealpaan hakim terhadap ketentuan yang telah digariskan oleh perundangan dapat mengakibatkan keputusan yang dibuat menjadi cacat (invalid). Bila terjadi hal yang demikian tentunya proses persidangan yang telah berlangsung yang telah banyak menyita waktu akan sangat merugikan bagi para pihak yang bersengketa, disamping itu biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak akan bertambah besar, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat dan biaya murah. 
2.Saran
               
Dengan semakin pesatnya perkembangan technology yang ada saat sekarang maupun masa – masa yang akan datang, maka mutlak diperlukan bagi pemerintah, hakim, para intelektual, pakar pakar hukum serta para pihak yang, untuk selalu menggali kemungkinan - kemungkinan yang akan dan ataupun yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum, karena pada hakikatnya tidaklah mungkin peraturan-peraturan yang dibuat itu sempurna, sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA


 Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafit

Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, Cet. Ke 3, 198
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
 Ny. Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum Acara Perdata, 1997. Bandung: Cv Mandar Maju.
 Sudarto, S.H. Modul Hukum Acara Perdata 2011, Universitas Muhammadiyah Surabaya.


Muhammad Irwansyah MAKALAH PERBANKAN


MAKALAH

 “Hubungan Antara Bank & Nasabah Non Kontraktual




DISUSUSUN OLEH :
Muhammad Irwansyah           : 0701514035
qutrotunnada                           : 07015140






Universitas Al-Azhar Indonesia
Fakultas Hukum
2016





KATA PENGANTAR

Bismillah, puji syukur kita haturkan pada tuhan yang maha esa yang telah memberikan segala rahmat taufik dan limpahan karunianya sehingga diberikan kesempatan mengerjakan makalah yang bertemakan “Hubungan Antara Bank & nasabah  Non Kontraktual” dan semua itu takluput berjalannya dengan baik tanpa adanya bimbingan oleh dosen pak maqdir pak dasril sehingga dapat meneyelesaikan makalah ini dengan baik,serta tak lupa terimakasih kepada kawan semua yang telah memberikan dukungan dan kerjasamanya.
Makalah ini masih banyak mempunyai kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penulisan makalah dan karya tulis penulis berikutnya menjadi lebih baik. Akhirnya tiada gading yang tak retak, kesalahan mutlak saya jadikan cermin untuk menatap ke depan lebih baik, tiada hal yang paling membanggakan kecuali saling mengingatkan terhadap kesalahan dan kekurangan masing-masing.






Jakarta 29 april 2016






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………1
1.1    Latar Belakang Masalah…………………………………………………..1
1.2    Tujuan Penulisan…………………………………………………………2
1.3    Rumusan Masalah…………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………3
2.      Uraian dan Penjelasan………………………………………………. 3 - 5
BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………..6
3.      Uraian dan Penjelasan……………………………………………………6
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………7
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………11






BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Di Indonesia terdapat lembaga – lembaga keuangan, yang mencakup berbagai lembaga jasa keuangan seperti perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal venture, leasing, factoring dan lain – lain.
 1 Lembaga -lembaga keuangan ini dibedakan menjadi lembaga keuangan yang berbentukbank dan lembaga yang bukan berbentuk bank.
2 Lembaga – lembaga ini dapat dipilih oleh masyarakat sebagai sarana untuk melakukan investasi. Setiap lembaga keuangan, baik yang berbentuk bank maupun yang tidak berbentuk bank eksistensinya tergantung pada kepercayaan masyarakat terhadaplembaga keuangan tersebut. Bank adalah suatu lembaga keuangan yang memperoleh izin dari penguasa moneter untuk mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
3 Bank adalah suatu lembaga yang eksistensinya tergantung pada kepercayaan dari para nasabah, yang mempercayakan dana serta jasa – jasa lainya.
4 Kadarkepercayaan masyarakat terhadap eksistensi suatu bank, yang sudah maupun yang akan menyimpan dana atau yang telah menggunakan jasa – jasa bank tersebut. Kepercayaan    masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank Hubungan kepercayaan merupakan hubungan yang esensial dalam beroperasinya sebuah bank. Sebuah bank tidak dapat beroperasi dan melakukan usahanya secara terus menerus bila tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal tersebut terjadi karena dalam praktek masyarakat mempunyai berbagai pilihan untuk mempercayakan dananya, seperti dilembaga asuransi ataupun di pasar modal atau bisa jadi masyarakat lebih memilih untuk menyimpan kelebihan uang mereka dengan membeli tanah ataupun perhiasan. Setiap pilihan pasti mempunyai keuntungan dan resiko masing-masing.


6 Hubungan bank dengan nasabah dapat dibagi menjadi hubungan yang kontraktual dan hubungan nonktraktual.7 Hubungan kontraktual adalah hubungan antara bank dengan nasabah yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Perjanjian tertulis antara bank dengan nasabah tersebut dituangkan dalam perjanjian baku. Peranjian baku atau perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibuat oleh salah satu pihak, dan pihak tersebut adalah pihak yang biasanya mempunyai bargaining power yang lebih kuat, dalam hal ini bank. Pihak lain dalam hal ini adalah nasabah, cukup memberikan persetujuannya dengan menandatangani atau tidak menandatangani perjanjian tersebut.
            Hubungan non kontraktual adalah hubungan bank dengan nasabah yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, tetapi hubungan tersebut selalu menjiwai dan ada pada hubungan antara bank dan nasabah. Ada tiga hubungan non kontraktual tersebut yaitu hubungan kepercayaan, hubungan kerahasiaan, dan hubungan kehati – hatian.
Hubungan kepercayaan ada dalam hubungan bank dengan nasabah karena tanpa kepercayaan dari nasabah maka bank tidak dapat beroperasi. Bank harus secara sungguh – sungguh menjaga kepercayaan nasabah ini. Bank dalam kegiatan penghimpunan dana, kepercayaan masyarakat menjadi modal yang sangat besar supaya mereka mau menyimpan ataupun menggunakan jasa perbankan dilembaga perbankan. Symons, Jr. mengatakan bahwa hubungan debitur dan kreditur semata, melainkan lebih dari itu.












I.2  Tujuan Penulisan:
1.      dapat mengetahui bagaimana hubungan nasabah dengan dengan bank
2.      dapat mengetahui Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur
3.      dapat mengetahui Hubungan Hubungan Non Kontraktual

I.3 Rumusan Masalah
1.      bagaimanakah hukum bank dan nasabah
2.      Mengapa perlu adanya hubungan antara bank dan nasabah
3.      serta bagaimanakah perlindungan nasabah













BABII
PEMBAHASAN
II.1 Hubungan bank dengan nasabah
            Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang paling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya, pada produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir dana dari masyarakat, untuk ditempatkan pada banknya dan bank akan memberikan jasajasa perbankan. Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank, yaitu fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu :
II.2 Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana
 Artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah menyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat tertuang dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk perbankanyang lain. Dalam produk perbankan seperti tabungan dan deposito, maka ketentuan dan syarat-syarat umum yang berlaku adalah ketentun-ketentuan dan syarat-syarat umum hubungan rekening deposito dan rekening tabungan.
II.3 Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur
Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit modal kerja, kredit investasi, atau kredit usaha kecil. Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dengan bankterdiri dari dua bentuk yaitu :
1. Hubungan Kotraktual
2. Hubungan Non Kontraktual
A. Hubungan Kontraktual Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir pada semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan. Terhadap nasabah debitur hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur ( peminjam dana ). Hukum kontrak yang menjadi dasar hubungan bank dengan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang kontrak (buku ketiga).
Sebab, menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah non debitu-non deposan, tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur untuk kontrak jenis ini dalam KUHPerdata. Karena itu, kontrak-kontrak untuk nasabah seperti itu hanya tunduk kepada ketentuanketentuan umum dari KUHPerdata mengenai kontrak. Prinsip hubungan nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini hubungan kreditur-debitur, dimana pihak bank berfungsi sebagai debitur sedangkan pihak nasabah berfungsi sebagai pihak kreditur, prinsip hubungan seperti ini juga tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu:
1.      Sebagai hubungan bank dan nasabah
2.      Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur
3.      Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.
B. Hubungan Non Kontraktual Selain hubungan kontraktual, apakah ada hubungan hukum yang lain antara pihak bank dengan pihak nasabah, terutama dengan nasabah deposan dengan nasabah non deposan-non debitur. Ada enam jenis hubungan hukum antara bank dengan nasabah selain dari hubungan kontraktual sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu :
1.      Hubungan fidusia
2.      Hubungan konfidensial
3.      Hubungan bailor-bailee
4.      Hubungan principal-agent
5.      Hubungan mortgagor-mortgagee
6.      Hubungan trustee-beneficiary
Berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau setidak-tidaknya ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk mengakui eksistensi kedua hubungan tersebut. Misalnya dalam hubungan dengan lembaga trust yang merupakan salah satu kegiatan perbankan, mesti ada kebijaksanaan bank yang bersangkutan dengan lembaga trust tersebut, juga dibutuhkan pengakuan dalam kontrak-kontrak trust seperti yang diinginkan kedua belah pihak. Nasabah bank wajib memberitahukan oleh bank setiap perubahan policy yang signifikan yang dapat mempengaruhi akunnya pihak nasabah atau mempengaruhi jasa bank yang selama ini diberikan oleh bank.
Apabila bank memberikan jasa pengiriman uang untuk kepentingan nasabahnya, maka dalam hal ini akan menempatkan posisinya sebagai “pelaksana amanat” dari nasabahnya. Hubungan formal
antara nasabah dengan bank terdapat pada formulir-formulir yang telah diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir-formulir itu berisi tentang permohonan atau perintah atau kuas pada bank. Formulir tersebut pada umumnya dibuat oleh bank. Dalam formulir tersebut akan saling menunjuk ketentuan yang berkaitan dengan transaksi yang dikehendaki oleh nasabah. Masing-masing formulir tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari satu-kesatuan yang tidak terpisahkan.Nasabah yang mengisi formulir permohonan, perintah, atau kuasa kepada bank pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari kepercayaan masyarakat pada bank. Nasabah atau konsumen mewujudkan kepercayaannya itu dalam bentuk pengajuan aplikasi permohonan yang dipercayanya. Hubungan antara bank dengan nasabah seringkali menunjuk pada berlakunya ketentuan yang lebih luas dan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang lebih luas dan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang berlaku dan merupakan bagian serta satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan aplikasi tersebut.[1]
Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak. Atau setidak-tidaknya ada kebiasaan dalam praktek untuk mengakui eksistensi kedua hubungan tersebut.
Sebenarnya fungsi sebuah bank hanya sebagai penerima amanah atau trustee saja dari nasabahnya, bukan sebagai debitur dari nasabahnya. Disamping itu, adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia bank, yang sebenarnya hal tersebut tidak pernah diperjanjikan sama sekali, juga mengindikasikan bahwa hubungan antara nasabah dan bank tidak sekedar hubungan kontraktual semata. Dalam hal ini ada semacam “amanah” yang diemban oleh pihak perbankan untuk kepentingan nasabahnya. Berdasarkan teori implied consent, pembukaan informasi tidak dapat dibenarkan walaupun untuk kepentingan menagih hutang pihak nasabah kepada bank.












BABIII
PEMBAHASAN
III1. Mekanisme Perlindungan Nasabah
Beberapa mekanisme yang digunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut :
1.      Pembuatan Peraturan Baru
2.      Pelaksanaan Peraturan yang Ada
3.      Perlindungan Nasabah Deposan Lewat Lembaga Asuransi Deposito
4.      Memperketat Perizinan Bank
5.      Memperketat Pengaturan di Bidang Kegiatan Bank
6.      Memperketat Pengawasan Bank
III.2 Asuransi Deposito
Salah satu cara yang ampuh untuk melindungi pihak nasabah adalah dengan menjamin simpanan nasabah di bank kepada suatu perusahaan asuransi. Sebenarnya, Peraturan Perundang-undangan mengenai Asuransi Simpanan sudah ada di Indonesia, yakni dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang Pada Bank yang ditetapkan pada tanggal 22 Agustus 1973.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 ini memperkenankan bagi nasabah bank untuk mengasuransikan simpanannya. Yang akan bertindak sebagai penjamin (termasuk yang memungut premi) adalah Bank Inonesia. Untuk dapat menjadi bank-bank terjamin, disyaratkan kepada bank-bank terjamin tersebut untuk :
1.      Kondisi finansial, struktur permodalan dan manajemennya berada dalam keadaan baik.
2.      Mempunyai prospek penghasilan yang baik.
Beberapa masalah yang perlu dikaji secara hati-hati jika keberadaan asuransi simpanan diterima adalah sebagai berikut :
Keberadaan asuransi simpanan tersebut jangan sampai membuat bank-bank terlena sehingga tidak lagi melindungi nasabahnya dan tidak  lagi memberlakukan prinsip prudent banking;Berapa besar nilai maksimum yang dapat dikover oleh asuransi simpanan tersebut.
Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah Nomr 34 Tahun 1973 hanya menjamin sampai batas maksimum Rp.1.000.000,00 saja, sungguhpun batas ceiling tersebut masih mungkin di perbesar oleh Bank Indonesia.Kapan dan dalam hal apa saja uang asuransi simpanan tersebut dapat dicairkan, akan tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, maka asuransi deposito ini merupakan suatu kewajiban bank.
III.3 Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah
Untuk menunjang kinerja perbankan nasional diperlukan lembaga penunjang, baik untuk sementara waktu dalam rangka mengatasi persoalan perbankan yang dihadapi maupun yang sifatnya lebih permanen seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini ditegaskan dalam pasal 37B Undang-Undang Perbankan yang diubah. Disebutkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. LPS tersebut dibentuk badan hukum Indonesia. Pembentukan LPS ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank Untuk menyelenggarakan penjamin simpanan dana masyarakat pada bank, LPS ini dapat menggunakan :
1.      Skim dana bersama;
2.      Skim asuransi;
3.      Skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia pasal 37 B [2]
Sebelum lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, persoalan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) juga pernah diatur.Ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan perbankan, maka jika keadaannya telah memungkinkan, untuk lebih menjamin uang pihak ketiga yang dipercayakan kepada bank-bank, dapat diadakan suatu asuransi deposito dengan tujuan pembinaan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, pada tahun 1973 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang jaminan simpanan uang pada bank. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa semua bank, termasuk bank asing, yang melakukan usaha berdasarkan suatu izin usaha dari Menteri Keuangan, diwajibkan menjamin simpanan uang pihak ketiga kepadanya, baik yang berupa giro, deposito, tabungan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahkan selanjutnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah bahwa Bank Indonesia merupakan badan penyelenggara jaminan simpanan uang pada bank, mengingat tugas Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas perbankan. Akan tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tidak berjalan efektif meskipun sudah ditetapkan sejak 26 tahun yang lalu. Penyebabnya adalah karena pada saat itu pemerintah tengah melancarkan Program Saving Drive melalui program Inpres Nomor 28 Tahun 1968 dan Tabanas atau Taska, dimana Bank Indonesia memberikan jaminan sepenuhnya atas bentuk simpanan tersebut.
Sejak tahun 1998, pemerintah menjamin kewajiban pembayaran bank umum. Jaminan pemerintah ini dipandang perlu untuk secepatnya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang dan perbankan nasional yang sedang mengalami krisis moneter yang sangat berat. Dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, pemerintah memberikan jaminan penuh terhadap seluruh kewajiban pembayaran dari bank umum, baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing. Dalam rangka pemberian jaminan tersebut, bank-bank umum diwajibkan untuk menandatangani surat pernyataan sebagai pemenuhan persyaratan.





BABIV
PENUTUP
A.Saran
            Perlunya implementasi yang tegas dalam hal perjanjian yang sudah tertuang dalam kuhperdata Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah non debitu-non deposan, tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur untuk kontrak jenis ini dalam KUHPerdata. Karena itu, kontrak-kontrak untuk nasabah seperti itu hanya tunduk kepada ketentuanketentuan umum dari KUHPerdata mengenai kontrak. Prinsip hubungan nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual,
B.Kesimpulan
Adanya keterkaitan dalam hal nasabah dengan bank serta Hubungan Kontraktual Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir pada semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan. Terhadap nasabah debitur hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur ( peminjam dana ). Hukum kontrak yang menjadi dasar hubungan bank dengan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang kontrak .











DAFTAR PUSTAKA
a. RJ,” Hubungan bank dengan nasabah”27 april 2016 https://caturretno.wordpress.com/2012/03/25/hubungan-hukum-nasabah-dan-bank/.
b.. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008
c.alexa “Aspek Hukum Perlindungan Nasabah” 27 april 2016 http://ilmutuhan.blogspot.co.id/2010/09/aspek-hukum-perlindungan-nasabah-lps.html





[1] RJ Hubungan bank dengan nasabah, https://caturretno.wordpress.com/2012/03/25/hubungan-hukum-nasabah-dan-bank/,27april2016,11:06
2. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001,11:10 27 april 2016

3. alexa “Aspek Hukum Perlindungan Nasabah” http://ilmutuhan.blogspot.co.id/2010/09/aspek-hukum-perlindungan-nasabah-lps.html,11:116,27 april 2016