MAKALAH
KEKUATAN
PUTUSAN PENGADILAN HUKUM ACARA PERDATA

DISUSUN OLEH:
Muhammad
Irwansyah
0701514035
UNIVERSITAS
AL AZHAR INDONESIA
FAKULTAS
HUKUM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum acara perdata adalah rangkaian
peraturan - peraturan yang memuat tata cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan tata cara bagaimana pengadilan itu
harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan -
peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang harus
dijalani sesuai dengan apa yang telah diatur didalamnya. Tanpa adanya hukum
acara perdata, maka mustahil hukum perdata materiil dapat dilaksanakan.
Tujuan dari suatu proses dimuka
pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya dalam suatu
kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu
seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir, jika perlu
dengan paksaan.[1]
Putusan pengadilan adalah merupakan
salah satu dari dari hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang
terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para
pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah
tahapan yang menjadi tujuan. Oleh karena itu penulis akan menguraikan secara
lebih detail bagaimana tata cara dan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh
hakim dalam mumbuat sebuah putusan. Karena apabila terdapat suatu yang belum
atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan
oleh undang – undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan
akan menjadi batal demi hukum. [2]
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahan hanya tehadap
beberapa hal dengan harapan agar dalam merumuskan sesuatu dapat lebih focus dan
terarah. Hal ini akan memudahkan pembaca untuk memahami apa yang dimaksud dalam
makalah ini, berbeda ketika suatu pembahasan yang panjang dan bertele-tele
tentunya akan menggiring pembaca pada hal hal lain yang bahkan akan melenceng
dari tujuan penulisan makalah ini. Untuk itu pada makalah ini penulis hanya
akan menguraikan terbatas pada :
1.
Pengertian
Putusan Pengadilan
2.
Jenis
– jenis Putusan Pengadilan
3.
Asas
Putusan Hakim
4.
Kekuatan Putusan Pengadilan
3. Tujuan Penulisan
Dengan tulisan ini diharapkan semua pihak khususnya pembaca dapat
memahami apakah arti putusan pengadilan, bagaimanakan sistematika atau susunan
putusan itu harus dibuat, lalu jenis-jenis putusan pengadilan itu dan kemudian
yang terakhir bagaimana kekuatan sebuah putusan sehinga dapat dilaksanakan oleh
para pihak yang berperkara.
BAB II
PEMBAHASAN
I). Pengertian Putusan Pengadilan
Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi
definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan
pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Sedangkan
Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa :
"Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan. (Dewi, 2005, hal: 148).
Putusan hakim
atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan
sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna
menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[4] Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan
yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan
yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada
suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu
perbuatan yang harus ditaati
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara
selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil
putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah
menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv,
yang dibarengi dengan replik [5] dari
penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik [6] dari
tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.[7]
Jika
semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan
ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan.
Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk
menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepda pihak yang berperkara.
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah
putusan peradilan tingkat pertama.
Untuk
dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan
mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui
duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik
peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan maupun peraturan hukum
tidak tertulis atau hukum adat.
2). Jenis – Jenis Putusan
Dalam penyusunan Hukum
Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya dapat berjalan secara
cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang murah.
Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Putusan / vonis : Suatu putusan
diambil untuk memutusi suatu perkara
2. Penetapan / beschikking :suatu
penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang
dinamakan “yuridiksi voluntair”
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
A. Putusan Sela atau Putusan interlokutoir
Putusan sela adalah putusan yang
dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan
atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal
macam putusan sela yaitu :
1. Putusan
Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan
segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir
2. Putusan
Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini
menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir
3. Putusan
Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang
menghentikan prosedur peradilan biasa.
4. Putusan
provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang
berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak
sebelum putusan akhir dijatuhkan.
B). Putusan Akhir
Putusan akhir
adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan,
meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. Macam-macam
putusan akhir adalah sbb. :
1.
Putusan
Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan
hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.
2.
.Putusan
Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau
menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan
seseorang jatuh pailit.
3.
Putusan
Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum
untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk
membayar hutangnya.
C).Asas Putusan Hakim
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara
yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah
digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat
hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang
jatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat
dasar dasar putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang –
undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan
sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum
adapt baik tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang ditegaskan dalam
Undang-undang No. 4 tahun 2004 pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat
(1) hakim wajb mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak
yang berperkara.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas
ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal
50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa
dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim
tidak boleh hanya memerriksa sebagian saja dari tuntutn yang diajukan oleh
penggugat.
3.Tidak boleh
Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut asas ini hakim tidak boleh
memutus melebihi gugatan yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga
menurut asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat
dianggap telah melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan
cacat atau invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini
diatur dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat
(3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
4.Diucapkan di
Muka Umum
Prinsip
putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang undang No. 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali
terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya dalam
bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan
membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.
Namun
dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan
perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga
prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat
dikesampingkan, pelnggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan
menjadi cacat hukum.
IV. Susunan
dan Isi Putusan Pengadilan
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian
mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR [9] , Pasal
189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Menurut ketentuan undang undang ini,
setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut :
1). KepalaPutusan
Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
2). Identitas
pihak yang berperkara
Didalam putusan
harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari
pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
3).Pertimbangan atau alasan-alasan
Pertimbangan
atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan
tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya,Pasal 184 HIR/195
RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata
harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar
putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara
serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
Putusan
yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus
dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16
Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang didasarkan atau
pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01
September 1971 No 372 K / SIP / 1970
4).Amar atau diktum putusan
Dalam amar
dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya
keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu.
Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.
5). Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman
biaya perkara dalam putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187
R.Bg., bahkan dalam 183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa
banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
5).Kekuatan Putusan Hakim
Pasal
1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut
Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa
melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap yaitu :
Ada
tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan majelis hakim yaitu:
1.Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat ini adalah suatu kemestian
yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu untuk menentukan
bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah pihak untuk
menentukan hukum menguasai soal yang menjadi perkara itu. Untuk dapat
melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan
pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan
dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak
atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan
sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau di adili, hal ini
mengandung pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan
yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati kedua
belah pihak.
2. Kekuatan Bukti
Dalam kekuatan ini dituangkan
putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan
untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang mungkin
diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi dan pelaksanaannya. Pengaturan
kekuatan pembuktian dalam putusan pidana (Pasal 1918 dan 1919 BW) mengatur
sebagai putusan pidana yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan
hukum dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa
yang telah terjadi, kecuali apabila ada bukti lawan kekuatan pembuktiannya
mengikat (Pasal 1918 BW) dan apabila seseorang dibebaskan dari segala tuduhan,
maka putusan pembebasan itu tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara
perdata untuk minta ganti kerugian (Pasal 1919 BW). Kalau kekuatan pembuktian
putusan pidana diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, maka kekuatan putusan
pembuktian perdata tidak ada ketentuannya. Putusan perdata pun mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana diserahkan kepada pertimbangan hakim.
4.Kekuatan
Eksekutorial
Kekuatan eksekutorial adalah putusan di
maksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa atau menetapkan hak
atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya)
secara paksa.Untuk itu apa yang telah ditentukan majelis hakim dalam putusannya
harus dilaksanankan walaupun banyak orang membantahnya. Kekuatan eksekutorial
putusan hakim tidak dapat dilumpuhkan, kecuali apabila telah dipenuhi dengan sukarela.
BABIV
PENUTUP
1.Kesimpulan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara sengketa
antar pihak. Putusan yang dibuat oleh hakim haruslah mengikuti tata cara
yang disyahkan oleh perundang - undangan yang ada, melalui yurisprudensi,
kebiasaan –kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Sistematika
atau susunan putusan harus mengacu pada ketentuan yang ada, untuk itu dalam
edaran S.E.M.A telah diberikan semacam guidance atau petunjuk agar sebelum
hakim membacakan putusan agar terlebih dahulu membuat konsep putusan tersebut,
hal ini dimaksuudkan agar pada saat pembacaan putusan tidak terjadi kesalahan
yang fatal yang dapat berakibat cacat sebuah putusan.
Pelanggaran,
kelalaian atau kealpaan hakim terhadap ketentuan yang telah digariskan oleh
perundangan dapat mengakibatkan keputusan yang dibuat menjadi cacat (invalid).
Bila terjadi hal yang demikian tentunya proses persidangan yang telah
berlangsung yang telah banyak menyita waktu akan sangat merugikan bagi para
pihak yang bersengketa, disamping itu biaya yang harus dikeluarkan oleh para
pihak akan bertambah besar, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan
prinsip peradilan yang cepat dan biaya murah.
2.Saran
Dengan semakin pesatnya perkembangan technology yang ada saat sekarang maupun masa – masa yang akan datang, maka mutlak diperlukan bagi pemerintah, hakim, para intelektual, pakar pakar hukum serta para pihak yang, untuk selalu menggali kemungkinan - kemungkinan yang akan dan ataupun yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum, karena pada hakikatnya tidaklah mungkin peraturan-peraturan yang dibuat itu sempurna, sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan semakin pesatnya perkembangan technology yang ada saat sekarang maupun masa – masa yang akan datang, maka mutlak diperlukan bagi pemerintah, hakim, para intelektual, pakar pakar hukum serta para pihak yang, untuk selalu menggali kemungkinan - kemungkinan yang akan dan ataupun yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum, karena pada hakikatnya tidaklah mungkin peraturan-peraturan yang dibuat itu sempurna, sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafit
Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, Cet. Ke 3, 198
M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafit
Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, Cet. Ke 3, 198
Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
Ny.
Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum Acara Perdata,
1997. Bandung: Cv Mandar Maju.
Sudarto,
S.H. Modul Hukum Acara Perdata 2011, Universitas Muhammadiyah Surabaya.