BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undang undang dasar
1945 yang berkesinambungan dan peningkatan serta pelaksanaan pembangunan
nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka pembangunan ekonomi harus diperhatikan keserasianya, keselarasan,
serta keseimbangan[1].
Islam merupakan agama paripurna yang
ajarannya memberi panduan nilai atau prinsip-prinsip etik berkaitan dengan
seluruh aspek kehidupan para pemeluknya. Misi yang diemban oleh pendidikan
islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu agar manusia dapat
menjalani amanat kehidupan ini dapat membangun kerajuan dunia yang makmur,
dinamis, dan harmonis atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Atau
dengan kata lain dapat mewujudkan rahmatan lil’alamin yaitu hubungan segitiga
sama sisi secara harmonis antara Tuhan, manusia dan alam sebagai tiga komponen
utama dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Misi Islam tersebut akan dapat
diwujudkan oleh tidak saja orang yang mengaku beriman atau mengaku taat
beragama tetapi sekaligus orang yang berilmu pengetahuan, berwawasan luas
tentang hakikat kehidupan, beradab, terampil dan komitmen kepada nilai-nilai
idealitas kemanusiaan seperti keadilan, kebersamaan dan kasih sayang[2].
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki potensi (fitrah) bawaan ini bersifat integral-holistik dan tidak hanya
berorientasi kepada permasalahan ukhrowi saja tetapi harus terintegrasi dengan
persoalan-persoalan dunia, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya,
sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Pandangan ini didasarkan pada konsep
ajaran Islam tidak menghendaki pada penghayatan agama yang mengarah kepada
pelarian diri dari kehidupan duniawi, tetapi bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan
asketisme duniawi, yaitu memakmurkan dan memajukan kehidupan dunia, tanpa
tenggelam dalam kenikmatan semu.[3]
Pendidikan Islam menurut H. Maksum
adalah segala proses pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, perkataan dan perbuatan sahabat, serta ijtihad para ulama. Dengan tujuan
untuk membentuk kepribadian Muslim yang tangguh dan mampu mengatasi
masalah-masalah di kehidupannya dengan cara Islam sehingga tercapai tujuan
akhir, yaitu bahagia dunia dan akhirat dengan ridha Allah.[4]
Hasan Langgulung sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi mudah. Memindahkan
pengetahuan dengan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia
sebagai khalifah fi al-ardh untuk beramal di dunia dan memerik hasilnya di
akhirat.
Manusia
dijadikan sebagai khalifah karena manusia secara fisik merupakan sebaik-baik
ciptaan. Kualitas manusia karena didalam dirinya terkandung beberapa
persyaratan kualitatif seperti kemampuan berfikir dan kemerdekaan berkehendak
serta bertindak yang tidak dimiliki makhluk lain. Dalam sudut pandang yang
lain, kekhalifaan manusia mengisyaratkan kepercayaan Allah kepada manusia.
Karena itu Allah memberi kepada manusia dalam bentuk kebebasan berfikir ,
berkehendak dan bertindak.
Pada
dasarnya masih banyak pengertian pendidikan Islam menurut para ahli pendidikan
Islam. Namun, pada dasarnya pendidikan Islam mempunyai makna sebagai usaha
bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk
mengembangkan fithrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam, menuju
terbentuknya manusia ideal ( insan kamil) yang berkepribadian Muslim dan
berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Namun
dalam realitasnya, pendidikan Islam saat ini masih terkungkung dalam kemunduran,
keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Diantara indikasinya menurut Abd.
Rachman Assegaf adalah sebagai berikut :
1. Minimnya
pembaharuan
2. Praktik
pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama dan tidak banyak
melakukan pemikiran kreatif, inovatif, dan kritis terhadap isu-isu actual.
3. Model
pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan intelektualisme – verbalistik
dan mengasingkan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistic antara
guru dan murid.
4. Orientasi
pendidikan Islam menitik beratkan pada syariat tanpa menyeimbangkan pada nilai
sosial
Pada
sisi lain, pendidikan Islam hingga saat ini masih mengahadapi berbagai
permasalahan yang kompleks, dari permasalahan yang bersifat konseptual-teoritis
hingga persoalan operasional praktis. Menurut Bassam Tibi, sebagaimana yang
dikutip Abdul Wahid, pendidikan Islam saat ini sedang mengalami masalah-masalah
yang besar seperti dikotomi ( dichotomic), ilmu pengetahuan yang masih bersifat
umum ( too general knowledge ) maupun rendahnya semangat penelitian ( lack of
spirit of inquiry). [5]
Dalam
era global ini, masyarakat Indonesia menginginkan terwujudnya suatu masyarakat
baru. Yaitu masyarakat yang mengharapkan terwujudnya kemajuan, kesejahteraan,
kebahagiaan, keterbukaan, keadilan, saling menghormati, dan menghargai.
Masyarakat
madani merupakan masyarakat yang sadar akan hak-hak warga masyarakat dan
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, masyarakat yang terbuka,
toleran, menghargai hak asasi manusia dan yang paling menonjol dalam ciri
masyarakat madani adalah demokratis. Tuntutan perubahan menuju masyarakat madani di
Indonesia memerlukan berbagai perubahan pada semua aspek kehidupan masyarakat
Indonesia, serta sangat membutuhkan individu dan masyarakat dengan kemampuan
yang tinggi. Pendidikan sebagai sarana terbaik untuk membentuk suatu generasi,
dituntut untuk peran sertanya dalam membangun masyarakat tesebut.
Untuk
mewujudkan masyarakat madani menuntut suatu pendidikan yang sesuai, yaitu
pendidikan yang mampu membangun kesadaran masyarakat unutu ikut serta dalam
membangun masyarakat sendiri. Yakni pendidikan yang mengembangkann seluruh
peserta didik, pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity);
individualitas dan kebebasan (academis); pendidikan yang mengakui adanya
perbedaan dan penghargaan dan keanekaragaman;serta pendidikan yang mengakui
adanya persamaan hak (equalitarianism), dan pendidikan yang berupaya
mengembangkan segenap potensi peserta didik secara optimal. Disinilah
penghayatan terhadap nilai-nilai demokrasi dalam pendidikan Islam, serta
pentingnya pentingnya ajaran islam dalam kehidupan sebagai posisi dan fungsi
daya kreatif dalam menghadapi persoalan tantangan zaman, maka ajaran islam
sebagai wahyu yang sempurna hadir ditengah masyarakat dalam menyikapi persoalan
yang ada, sebagai pelajaran sepanjang sejarah yang berlalu.[6]
Sehubungan persoalan krisis moral dalam pembangunan masyarakat Indonesia, maka
penulis tertarik membahas judul mengenai “Peran Seorang Muslim dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani”
B. Rumusan Masalah
1.
Apa hambatan
dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia ?
2. Bagaimana tantangan masyarakat madani di Indonesia
ke depan ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Masyarakat
Madani
Wacana
masyarakat madani mulai popular sekitar awal tahun 90-an di Indonesia dan masih
terdengar asing pada sebagian dari kita. Konsep ini awalnya berkembang di
Barat, dan berakhir setelah lama terlupakan dalam perdebatan wacana sosial
modern, dan kemudian mengalami revitalisasi terutama ketika Eropa timur dilanda
gelombang reformasi di tahun-tahun pertengahan 80-an hingga 90-an. Mengenai
wacana tentang masyarakat madani masih dalam perdebatan, namun beberapa
kalangan ada yang berpendapat bahwa masyarakat madani adalah persamaan dari
kata civil society[7].
Civil
Society sebagai sebuah konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah
masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan
feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Proses sejarah dari
masyarakat Barat, perkembangannya bisa diruntut mulai dari Cecero sampai pada
Antonio Gramsci dan De’Tocquville bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato
serta M Dawam Raharjo, pada masa Aristoteles wacana civil society sudah dirumuskan
sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike yaitu
sebuah komunitas politik tempat warga terlibat langsung pada percaturan ekonomi
dan politik serta pengambilan keputusan.
Konsep
civil society kemudian dikembangkan oleh filosof John Locke dari istilah
Civillian Govermant (pemerintahan sipil) yang berasal dari bukunya Civilian
Goverment pada tahun 1960. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan pesan
masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak istimewa
para bangsawan.
Locke
membangun pemikiran otoritas umat untuk merealisasikan kemerdekaan dan
kekuasaan elit yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan dalam misi pembentukan
pemerintahan sipil. Semua itu dapat terwujud melalui demokrasi parlementer,
yaitu keberadaan parlemen atau wakil adalah pengganti otoritas para raja. Sementara
John Jack Rosseau dengan bukunya The Cocial Control memaparkan tentang
pemikiran otoritas rakyat dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara
manusia dan kekuasaan dan pada intinya mempunyai tujuan yang sama dengan john
Locke, yaitu mengajak manusia untuk ikut menentukan hari dan masa depannya
serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elit yang berkuasa dengan
kepentingan manusia.
Locke
(1632-1704) dan Rossean (1712-1778) membuka jalan pemberontakan terhadap
dominasi kekuasaan dan kesewenangan dan pada akhirnya melahirkan revolusi
Perancis 1789, sehingga permulaan abad XIX muncul pemikiran-pemikiran cemerlang
yang mengobarkan pembentukan masyarakat madani yang menjadi simbol bagi realita
dengan di penuhi berbagai kontrol terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan elit
yang mendominasi kekuasaan Negara yang mencakup banyak partai, kelompok,
perkumpulan, himpunan, ikatan sebagai lembaga kekuasaan.
Kesulitan
dalam mencari padanan kata Masyarakat Madani dalam literatur bahasa Indonesia
di sebabkan oleh hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah
Arab-Islam dan tiadanya pengalaman empiris penerapan nilai-nilai madaniyah
dalam tradisi kehidupan politik bangsa Indonesia akhirnya banyak orang yang
memadankan istilah masyarakat madani dengan civil society, societas civilis
(Romawi), atau koinonia politike (Yunani).
Terjadinya
pro dan kontra terhadap pengistilahan civi society dan masyaraka madani
merupakan hal yang menarik untuk dibahas sebagai landasan teori yang dapat
digunakan untuk menentukan keobyekan konsep masyarakat madani.\
Tokoh
yang mewakili tidak setuju untuk memadukan civil society dengan masyarakat
madani adalah Hikam, dengan alasan bahwa istilah masyarakat madani cenderung
telah di kooptasi oleh Negara karena dipahami sebagai masyarakat ideal yang
disponsori atau dibuat oleh Negara sebagaimana pernah terdengar istilah
masyarakat pancasila dan istilah masyarakat madani secara khusus dipopulerkan
oleh pemikir Islamis yang kemudian cenderung menjadi monopoli kalangan Islam.[8]
Sementara tokoh yang sepakat terhadap padanan civil society dengan masyarakat
madani adalah Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, dan Bachtiar Efendi serta
umumnya pemikir yang mempunyai latar belakang pendidikan ke-islaman
modernitas-sekularis semisal Syafi’i Ma’arif, Komaruddin Hdayat, bahkan Amien
Rais dalam pidato pengukuhan guru besarnya yakni membahas kuasa, tuna-kuasa dan
demokratisasi kekuasaan mendukung terwujudnya masyarakat madani di Indonesia.
B. Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Masyarakat
madani atu civil society merupakan salah satu bentuk konsep ideal menuju
demokrasi, apabila sudah terwujud, masyarakat madani mempunyai
indikasi-indikasi yang sesuai dengan perspektif masyarakat madani itu ditafsiri
dan di definisikan.
Secara
umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi
yang mempunyai ciri-ciri antara lain : Kemandirian, toleransi, keswadayaan,
kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan etika yang
telah disepakati bersama-sama. Secara historis upaya untuk merintis institusi
tersebut sudah muncul sejak masyarakat Indosesia mulai mengenal pendidikan
modern dan sisitem kapitlisme global serta modernisasi yang memunculkan
kesadaran untuk mendirikan orgnisasi-orgnisasi modern seperti Budi Utomo
(1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912) dan lain-lain.
Menurut
perspektif A.S Hikam, civil society merupakan wacana yang berasal dari Barat
dan lebih mendekati subtansinya apabila tetap di sebutkan dengan istilah
aslinya tanpa menterjemahkan dengan istilah lain atau tetap berpedoman dengan
kosep de' Tocquiville merupakan wilayah sosial terorganisir yang yang mempunyai
ciri-ciri antara lain : Kesukarelaan (Voluntary), Keswasembadaan
(self-generating), Keswadayaan (self-supporting), serta kemandirian tinggi
berhadapan dengan Negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai
hukum yang di ikuti oleh warganya. Civil society adalah suatu wilayah yang
menjamin berlangsungnya prilaku tindakan dan refleksi mandiri kemudian tidak
terkungkung oleh kondisi material serta tidak terserap dalam kelembagaan
politik yang resmi.
Gambaran
bentuk masyarakat masa depan yang di inginkan umat manusia yang mengakui harkat
manusia adalah hak-hak dan kewajibannya dalam masyarakat yaitu masayarakat
madani, dapat juga dijelaskan dengan karakteristik[9]
sebagai berikut :
1. Masyarakat
yang mengakui hakikat kemanusiaan yang bukan sekedar mengisi kebutuhannya untuk
hidup (proses humanisasi) tetapi untuk eksis sebagai manusia.
2. Pengakuan
hidup bersama manusia sebagai mahluk sosial melalui sarana Negara. Negara
menjamin dan membuka peluang kondusif agar para anggotanya dapat berkembang
untuk merealisasikan dirinya dalam tatanan vertikal (antara manusia dengan Tuhan)
atau tatanan horizontal (mausia dengan manusia). Interaksi kedua tatanan
tersebut penting karena tanpa orientasi kepada Tuhan maka tatanan kehidupan
bersama tidak bermakna. Tuhan adalah sumber nilai yang mengatur keseluruhan
kehidupan manusia.
3. Manusia
yang mengakui karakteristik tersebut dan mengakui hak asasi manusia dalam
kehidupan yang demokratis adalah yang disebut masayarakat madani (civil
society)20.
Nilai
universal dan partikular yang dimiliki masyarakat madani yang dijelaskan pada
masing-masing kebudayaan masyarakat harus dapat terwujud pada setiap individu
dalam masyarakat.
C. Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat
Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya.
Karakteristik tersebut diantaranya adalah: (1) Pluralistik/keberagaman, (2)
sikap saling pengertian antara sesama anggota masyarakat, (3) toleransi yang
tinggi dan (4) memiliki sanksi moral.[10]
Karakteristik-karakteristik tersebut
diharapkan senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat madani model Indonesia
nantinya. keberadaan masyarakat Indonesia dapat dicermati melalui perjalanan
bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan masyarakat madani di Indonesia
sebenarnya sudah mulai dicita-citakan semenjak terjadinya perubahan sosial
ekonomi pada masa kolonial, terutama ketika kapitalisme mulai diperkenalkan
oleh Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui
proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain
munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang mendorong
terbentuknya organisasi sosial modern.
Pada masa demokrasi terpimpin politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilakukan masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Sehingga perkembangan pemikiran menuju masyarakat madani kembali terhambat. Perkembangan orde lama dan munculnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, dalam bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarakat agraris, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat pada terjadinya kemerosotan kemandirian dan partisipasi politik masyarakat serta menyempitkan ruangruang bebas yang dahulu pernah ada, sehingga prospek masyarakat madani kembali mengalami kegelapan. Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan masyarakat madani kembali menorehkan secercah harapan. Hal ini dikarenakan adanya perluasan jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yang intinya mengarahkan pada aspek kemandirian dari setiap warga negara. Dari zaman orde lama sampai era reformasi saat ini, permasalahan perwujudan masyarakat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yang sama. Beberapa permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut :
Pada masa demokrasi terpimpin politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilakukan masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Sehingga perkembangan pemikiran menuju masyarakat madani kembali terhambat. Perkembangan orde lama dan munculnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, dalam bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarakat agraris, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat pada terjadinya kemerosotan kemandirian dan partisipasi politik masyarakat serta menyempitkan ruangruang bebas yang dahulu pernah ada, sehingga prospek masyarakat madani kembali mengalami kegelapan. Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan masyarakat madani kembali menorehkan secercah harapan. Hal ini dikarenakan adanya perluasan jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yang intinya mengarahkan pada aspek kemandirian dari setiap warga negara. Dari zaman orde lama sampai era reformasi saat ini, permasalahan perwujudan masyarakat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yang sama. Beberapa permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Semakin
berkembangnya orang “miskin” dan orang yang merasa miskin.
2. LSM
dan partai politik muncul bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan
sehingga memungkinkan berbagai “ketidakjelasan”.
3. Pers
berkembang pesat dan semakin canggih tetapi justru “fesimisme” masyarakat yang
terjadi.
4. Kaum
cendikiawan semakin banyak tetapi cenderung berorientasi pada kekuasaan.
5. Kurang
percaya untuk bersaing dan senantiasa merasa rendah diri. Mencermati keadaan
sekarang, maka diperlukan sebuah strategi jitu untuk mencapai kehidupan yang
madani. Proses pemberdayaan tersebut menurut Dawam Rahardjo dapat dilakukan
dengan tiga model strategi sebagaimana sebagai berikut :
1. Strategi
yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
2. Strategi
yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
3. Strategi
yang memilih pembangunan masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah
demokratisasi.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Rahardjo, penulis berasumsi bahwa untuk mencapai
kehidupan madani diperlukan beberapa suplemen sebagai berikut:
1. Tanamkan
nilai religiusme yang didukung oleh jaminan keamanan.
2. Tanamkan
semangat insan pancasilais.
3. Berdayakan
kaum cendikiawan/alumni luar negeri bangsa Indonesia melalui pemberian peran
riil.
4. mempunyai
jiwa sosial, mementingkan pada kesejahteraan masyarakat yang berlandaskan nilai
keislaman.
5.
Penegakkan hukum
tegas terhadap penyelewengan kekuasaan dan anggaran
tanpa mengesampingkan asas
praduga tak bersalah.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa untuk menuju masyarakat madani Indonesia tidak ditempuh
melalui proses yang radikal dan cepat (revolusi), tetapi proses yang sistematis
dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Melalui era reformasi bangsa
Indonesia memiliki tujuan untuk membina suatu masyarakat Indonesia baru dalam
rangka untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi tahun 1945 yaitu membangun
masyarakat Indonesia yang demokratis. Masyarakat Indonesia yang demokratis atau
masyarakat madani ala Indonesia merupakan visi dari gerakan reformasi dan juga
visi dari reformasi sistem pendidikan nasional.
Gerakan untuk membentuk masyarakat
madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa
ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa
mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu ciri
dari kehidupan bermasyarakat Indonesia ialah kebhinnekaan dari bangsa
Indonesia. Pada masa orde baru unsur kebhinnekaan itu cenderung dikesampingkan
dan menekankan sifat kesatuan bangsa. Padahal justru dalam kebhinnekaan itulah
terletak kekuatan dari persatuan bangsa Indonesia. Orde Baru telah
menghilangkan kekuatan kebhinnekaan itu dan mencoba menyusun suatu masyarakat
yang uniform sehingga terciptalah suatu struktur kekuasaan yang sangat
sentralistik dan birokratik. Hal ini justru telah mengakibatkan disintegrasi
bangsa kita karena dalam usaha menekankan persatuan yang mengesampingkan
perbedaan melalui cara-cara represif, berakibat mematikan inisiatif dan
kebebasan berpikir serta bertindak robotik
di dalam pembangunan bangsa.
Cita-cita reformasi yang diinginkan ialah mengakui adanya kebhinnekaan sebagai
modal utama bangsa Indonesia dalam rangka untuk mewujudkan suatu masyarakat
madani yang menghargai akan perbedaan sebagai kekuatan bangsa dan sebagai
identitas bangsa Indonesia yang secara kultural sangat kaya dan bervariasi.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa cita-cita membentuk masyarakat madani
harus menjadi cita-cita yang serius bagi bangsa Indonesia sejalan dengan
berkembangnya kehidupan berdemokrasi. bahkan ide masyarakat madani telah mulai
dikembangkan sejak jaman Yunani klasik seperti ahli pikir Cicero. Setelah
mencermati berbagai ciri masyarakat madani, maka tampak dengan jelas bahwa
masyarakat madani adalah suatu masyarakat demokratis dan menghargai human
dignity atau hak-hak dan tanggung jawab manusia.
Melihat keadaan masyarakat dan bangsa
Indonesia maka ada beberapa prinsip khas yang perlu kita perhatikan dalam
membangun masyarakat madani di Indonesia, prinsip-prinsip tersebut ialah:
a.
Kenyataan adanya
keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa
Indonesia dan kebudayaan nasional.
b.
Pentingnya
adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat. Seperti yang telah
dikemukakan oleh filosof Isaiah Berlin, yang diperlukan di dalam masyarakat
bukan sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai.
Justru yang penting di dalam masyarakat yang bhinneka ialah adanya saling
pengertian. Konflik nilai-nilai justru merupakan dinamika dari suatu kehidupan
bersama di dalam masyarakat madani. Konflik nilainilai tidak selalu berarti
hancurnya suatu kehidupan bersama. Dalam masyarakat demokratis, konflik nilai
akan memperkaya horison pandangan dari setiap anggota.
c. Berkaitan
dengan kedua ciri khas tadi ialah toleransi yang tinggi.
d. Dengan
demikian masyarakat madani Indonesia bukanlah masyarakat yang terbentuk atau
dibentuk melalui proses indoktrinasi tetapi pengetahuan akan kebhinnekaan dan
penghayatan terhadap adanya kebhinnekaan tersebut sebagai unsur penting dalam
pembangunan kebudayaan nasional.
e. Akhirnya
untuk melaksanakan nilai-nilai yang khas tersebut diperlukan suatu wadah
kehidupan bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum. Tanpa kepastian
hukum sifat-sifat toleransi dan saling pengertian antara sesama anggota
masyarakat pasti tidak dapat diwujudkan.
D. Tantangan
Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani merupakan suatu
kondisi yang senantiasa diidam-idamkan oleh semua lapisan masyarakat di negara
Indonesia. Karena itu, tantangan yang harus mampu dilakukan oleh seluruh masyarakat
supaya tercapai kehidupan madani adalah:
1. Sikap
demokratis
Mengembangkan sikap demokratis bukan hanya mengenai
pembentukan individu yang mempunyai harga diri, yang berbudaya, yang memiliki
identitas sebagai bangsa Indonesia yang bhinneka, tetapi juga menumbuhkan sikap
demokratis tersebut perlu didukung oleh suatu sistem yang juga mengembangkan
sikap demokratis. Sistem pendidikan yang hanya mementingkan sekelompok manusia
seperti manusia yang berinteligensi tinggi saja, tentunya tidak demokratis sifatnya. Demikian pula proses belajar yang tidak
menumbuhkan sikap kreatif dan bebas serta sanggup mengemukakan pendapat,
berbeda pendapat, dan menghargai pendapat yang lebih baik, perlu dimasukkan di
dalam proses belajar serta kurikulum. Demikian pula para pendidik, para dosen
yang otokratis tidak memungkinkan tumbuhnya sikap demokratis dari para peserta
didik.
2. Sikap
toleran Wajah budaya Indonesia yang bhinneka menuntut sikap toleran yang,
tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat
diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuk suatu
masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru. Di dalam
diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesian Council on World Affairs (ICWA)
Maret 1999, Juwono Sudarsono mengemukakan di samping sikap toleransi juga
penting sikap kompromi perlu dikembangkan dalam pendidikan.
3. Saling
Gotong Royong
Di dalam suatu masyarakat demokrasi, perbedaan
pendapat justru merupakan suatu hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang
mempunyai horizon yang luas dan kaya. Untuk keperluan tersebut diperlukan
pengetahuan dan penghayatan mengenai kebhinnekaan tersebut. Pendidikan nasional
harus menampung akan kebutuhan masyarakat yang beragam tersebut. Keanekaragaman
budaya daerah haruslah dikembangkan seoptimal mungkin sehingga pada gilirannya
dapat memberikan sumbangan kepada terwujudnya suatu budaya nasional, budaya
Indonesia. Saling pengertian atau gotong royong hanya dapat ditumbuhkan apabila
komunikasi antar penduduk dan antar etnis dapat terwujud dengan bebas dan
intens. Oleh sebab itu pengembangan budaya daerah, pertukaran kunjungan antar
masyarakat dan budaya daerah haruslah diintensifkan.
4. Berakhlak
tinggi, beriman dan bertaqwa
Masyarakat Indonesia yang bhinneka dengan beragam
nilai-nilai budayanya, namun merupakan ciri khas dari masyarakat Indonesia,
adalah masyarakat yang beriman. Manusia yang beriman adalah manusia yang
berakhlak tinggi oleh karena semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia
adalah agama yang mengajarkan nilainilai moral yang tinggi. Keragaman agama
yang hidup dan berkembang di Indonesia menuntut sikap toleransi dan saling
pengertian setiap anggotanya. Oleh sebab itu pendidikan agama di dalam sistem
pendidikan nasional haruslah dilaksanakan begitu rupa sehingga terwujudlah
suatu kehidupan bersama yang mengandung unsur-unsur toleransi serta saling
pengertian yang mendalam. Kita perlu menghindari ramalan Huntington yang
memprediksikan adanya konflik-konflik budaya dan agama sebagai pengganti
konflik kekerasan senjata dalam kehidupan umat manusia pada melenium ketiga
yang akan datang.
5. Manusia
dan masyarakat yang berwawasan global
Masyarakat Indonesia memasuki suatu kehidupan baru
dalam melenium ketiga yaitu masyarakat global yang ditandai oleh kemajuan
teknologi serta perdagangan bebas. Kehidupan global tersebut memberikan
kesempatankesempatan yang baru tetapi juga tantangan-tantangan yang semakin
sulit dan kompleks sehingga meminta kualitas sumber daya manusia Indonesia yang
bukan saja menguasai dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi juga yang
terampil di dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul akibat gelombang
globalisasi tersebut. Menurut pengamatan UNESCO terdapat beberapa bahaya yang
inheren di dalam gelombang globalisasi yang perlu diwaspadai dalam proses
pendidikan. Tantangan-tantangan tersebut ialah regionisasi, polarisasi,
marginalisasi, dan fragmentasi. Gelombang globalisasi juga telah melahirkan
berbagai kerjasama regional yang pada gilirannya menuntut program dan
langkah-langkah yang, sesuai di dalam pendidikan nasional anggota kerjasama
regional tersebut. Dengan demikian regionisasi akan memberikan keuntungan
tetapi juga malapetaka bagi anggota kerjasama regional yang tidak mempersiapkan
diri sehingga hanya akan menguntungkan anggota-anggota yang lebih siap.
Globalisasi juga dapat menyebabkan polarisasi antara negara yang maju dan
negara berkembang. Oleh sebab itu negara berkembang harus pandai-pandai
mempersiapkan diri sehingga tidak akan menjadi mangsa dari kekuatan global yang
lebih kuat. Akibatnya ialah pemiskinan negara-negara yang dilindas oleh
kekuatankekuatan global seperti di dalam ekonomi dan perdagangan. Selanjutnya,
gelombang globalisasi dapat menjadikan sekelompok manusia tercecer atau
terbuang dari arus perubahan Proses marginalisasi kita rasakan di dalam era
krisis moneter yang telah mengakibatkan sejumlah besar rakyat Indonesia hidup
di bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu pendidikan nasional harus, mempunyai
visi untuk dapat memberdayakan rakyat banyak sehingga rentan terhadap
perubahan-perubahan global yang menimpannya Sejalan dengan kekuatankekuatan
yang disebut tadi, juga globalisasi dapat menyebabkan fragmentalisasi
masyarakat Indonesia di dalam kelompok-kelompok yang diuntungkan dan
kelompok-kelompok yang dikalahkan akibat kepentingankepentingan tertentu.
Demikian pula tumbuh-suburnya proses demokrasi dapat memecah belah kehidupan
berbangsa dan bertanah air sehingga masyarakat dan bangsa Indonesia dapat
terpecah belah menjadi masyarakat yang lemah. Sistem pendidikan nasional
mempunyai tugas untuk melihat secara dini masalah-masalah tersebut di atas agar
supaya dapat mempersiapkan manusia dan masyarakat Indonesia untuk lebih siap
menghadapi tantangantantangan global tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Masyarakat
madani atau civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan
masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan,
kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.
2.
Masyarakat
Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya.
3. Karakteristik tersebut diantaranya adalah: (1)
Pluralistik/keberagaman, (2) sikap saling pengertian antara sesama anggota
masyarakat, (3) toleransi yang tinggi dan (4) memiliki sanksi moral.
4. Beberapa permasalahan yang bisa menjadi hambatan
sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu
sebagai berikut :
a.
semakin
berkembangnya orang “miskin” dan orang yang merasa miskin
b.
LSM dan partai politik muncul bagaikan jamur
yang tumbuh di musim penghujan sehingga memungkinkan berbagai “ketidakjelasan”
c.
pers berkembang
pesat dan semakin canggih tetapi justru “fesimisme” masyarakat yang terjadi,
d.
kaum cendikiawan
semakin banyak tetapi cenderung berorientasi pada kekuasaan
e.
kurang pede untuk
bersaing dan senantiasa merasa rendah diri.
5.
Tantangan yang
harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia ke depan adalah a. sikap demokratis
b. sikap toleran, c. saling gotong
royong, d. berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa, e. berwawasan global.
B. Saran
Sebuah pemikiran yang bijak sekalipun
jika tidak direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam
rangka mencapai tujuan dan cita masyarakat yang makmur dan berakhlak muliah
saling menghormati tidak tercapai. Sehingga pemikiran yang luas yang mengarah
pada perubahan yang baik harus diperjuangkan dan direalisasikan oleh individu
masyarakat serta didukung oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Atyah
al-Abrasyy Muhammad, Dasar-Dasar Pendidikan Islam ( Jakarta :
Bulan Bintang , 1970).
Dahlan
Ahmad, Jejak Pembaharuan dan Kemanusiaan PT. Kompas Media Nusantara 2010.
Fajar
Malik ahmad, Reorientasi Pendidikan Islam
( Bandung : Remaja Rosdakarya. 1988).
Hakim
Abdul, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta:Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi
UII, 2004).
Hikam
Muhammad A.S. Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society.
Tobroni,
Pendidikan Islam; Paradigma Teologis,
Filosofis dan spiritualis, (Malang:UMM Press. 2008 ).
Tilaar H. A. R. Pendidikan
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Wahid
Abdul, “Pendidikan Islam Kontemporer: Problem Utama, “Tantangan dan Prospek
“ dalam Ismail SM (ed), Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2001).
https://media.neliti.com/media/publications/121296-ID-konsep-masyarakat-madani-dii-indonesia-d.pdf:
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015 664 Konsep
Madani Diindonesia masa post Modern (sebuah telaah kritis).
[1] Abdul Hakim, ekonomi
pembangunan (Yogyakarta:Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi
UII,
2004), cet ke-2,hlm. 20.
[2] Tobroni, Pendidikan Islam;
Paradigma Teologis, Filosofis dan spiritualis, (Malang:UMM Press. 2008 ) , hlm.
46.
[3] A. Malik Fadjar, Reorientasi
Pendidikan Islam ( Bandung : Remaja Rosdakarya. 1988), hlm. 42.
[4] Muhammad Atyah al-Abrasyy, Dasar-Dasar Pendidikan
Islam ( Jakarta : Bulan Bintang , 1970), hlm. 15 .
[5] Abdul Wahid, “Pendidikan Islam Kontemporer: Problem
Utama , “Tantangan dan Prospek “ dalam Ismail SM (ed), Paradigma Pendidikan
Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001). hlm. 275-292.
[6] Kiai Ahmad Dahlan, Jejak Pembaharuan dan Kemanusiaan. Jakarta (PT. Kompas Media Nusantara 2010). Hlm. 93.
[7] Adi Suryadi Culla. Masyarakat Madani : pemikiran,
Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, cet I, hlm. 3.
[8] Muhammad A.S Hikam. Islam Demokratisasi dan
Pemberdayaan Civil Society, hlm. 77.
[9] H. A. R. Tilaar. Pendidikan
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Cet I, hlm.155-156.
[10] Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor
9, Mei 2015 664 Konsep Madani Diindonesia
masa post Modern (sebuah telaah kritis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar