![]() |
budaya cina dilasem |
Wilayah jawa sejarah mencatat bahwa mempunyai kerajaan memimpin wilayah masing-masing sehingga adanya kebijakan otonomi/masing-masing wilayahnya, maka tiada keharmonisan jika suatu wilayah tersebut dengan latar belakang yang berbeda tanpa didasari saling menghormati dengan lainnya, lalu bagaimanakah keharmonisan orang jawa dengan orang cina dijawa sedangkan keduanya mempunyai warna kulit dan latar belakang yang berbeda ?
Lasem merupakan wilayah jawa perbatasan jawa timur dengan jawa tengah, sejarah panjang toleransi dan harmonisasi antara penduduk asli dengan para pendatang etnis Tionghoa. Sebagai kota kecil, Lasem telah membuktikan tumbuh suburnya sikap toleransi di kalangan masyarakat Jawa sebagai pribumi dengan kelompok masyarakat Cina sebagai pendatang. Percampuran kedua etnis tersebut tampak dalam berbagai sektor kehidupan, terutama bidang ekonomi dan sosial.
Ketika bangsa ini berjuang melawan penjajah Belanda, di Lasem kedua kelompok masyarakat tersebut bahu membahu bertempur bersama melawan penjajah. Pluralitas masyarakat Lasem telah membentuk sebuah harmonisasi kerukunan umat beragama. Penduduk asli Lasem sangat menghormati adat-istiadat dan kebudayaan masyarakat Cina. Sebagaian besar dari masyarakat Lasem memeluk Islam, sebagian kecil lain beragama Kristen dan Budha sebagai kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa.
Percampuran budaya antara etnis Tionghoa dan penduduk pribumi Lasem terbentuk dalam struktur sosial yang saling membutuhkan. Relasi ini terjadi pada wilayah elit dan masyarakat di perkampungan pada kehidupan sehari-hari. Pola hubungan antarelit terjadi pada komunikasi bersama dalam negosiasi, kontestasi maupun relasi yang saling membutuhkan.
Lasem merupakan kota kecil yang secara admistrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Rembang, sekitar 110 Km dari Semarang ke arah timur, sepanjang jalur pantura. Terletak 12 km sebelum timur kota Rembang.
Pada awal abad pertama orang Cina telah datang di nusantara. Beberapa sumber dari Cina menjelaskan bahwa Cina telah mengenal Jawa sejak awal abad pertama Masehi. Dibuktikan dalam catatan Cina tentang terdamparnya pendeta Budha, Fa Hsein yang sering disebut Fa Hian/Fa Man dan Hwui Ning disebuah pulau bernama Ya Wa Di merupakan transliterasi Cina dan toponim Jawa dwipa dalam teks Sansekerta. Selain itu, sejumlah benda prasejarah yang ditemukan di Indonesia menunjukkan terjadinya interaksi bangsa Cina Nusantara.
Kedatangan orang-orang Cina di nusantara tidak lain adalah pedagang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di berbagai kota pantai Utara Jawa. Beberapa pedagang Cina tersebut ada yang menetap di Jawa, yang kemudian terasimilasi secara permanen.
Pada abad ke-11 sudah terdapat permukiman yang permanen orang Cina di sebelah timur di tepi Sungai Lasem. Umumnya mereka menikahi wanita setempat dan kemudian memilih menetap selamanya di tanah baru tersebut.
Laksaman Cheng Ho ke berbagai wilayah di pulau Jawa pada awal abad ke-14 berlayar dari negara-negara asing, termasuk Cina yang mendarat di Tuban, Gresik dan Majapahit. Pada masa itu, Lasem termasuk bagian dari kekuasaan Majapahit. Sehingga menyebabkan Lasem menjadi tempat tinggal bagi beberapa orang Cina yang bekerja sebagai penjaga gerbang, orang sampan maupun pedagang, hingga budaya cina membaur dengan jawa.
Kebudayaan ini merupakan intisari dari adat-istiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri (akulturasi). menyebabkan adanya komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa. Respon masyarakat Jawa terhadap orang-orang Cina disebabkan anggapan bahwa masyarakat Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru.
Para imigran Cina yang telah menetap selama lebih dari dua atau tiga generasi dan berbaur dengan penduduk Lasem menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat istiadat di mana mereka berada. Yang mana tercermin dalam berbagai aspek kesenian Jawa di Lasem, Pengaruh dalam kesenian Jawa tampak pada seni batik.
Pada kurun abad 19 seiring perkembangan zaman, keberbedaan etnis Cina membentuk suatu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal dalam satu kawasan yang disebut Kampoeng Pecinan. Etnis kawasan Pecinan Lasem mempunyai keunikan, karena memiliki kebudayaan, kepercayaan dan Agama dan berbeda dengan masyarakat pribumi atau Jawa, mereka membuat wilayah atau kawasan yang terpisah dengan penduduk asli.
Di Lasem, penduduk asli sangat menghormati adat istiadat dan kebudayaaan masyarakat Cina. Bahkan sebagian besar dari mereka memeluk agama Islam, Kristen atau Budha sebagai kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pembaurannya masyarakat Cina Lasem sangat menghormati adat istiadat penduduk asli, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk asli sehingga terjalinnya hubungan baik antara etnis Cina di Lasem dengan penduduk asli.
Sejarah telah mencatat adanya interaksi sosial antara masyarakat pribumi Lasem dengan etnis Cina, bahkan sejak abad 14 hingga abad 16 pasca gelombang migrasi Cina datang ke tanah Jawa pada masa Majapahit. Meskipun interaksi kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni dan toleransi itu senantiasa berjalan dengan baik.
Kedatangan Belanda (VOC) ke tanah Jawa dalam pelayaran pertamanya pada tahun 1959 bertujuan membeli rempah-rempah yang dihasilkan pribumi. Namun tujuan awal yang mereka laksanakan akhir berbelok menjadi penjajahan. Perlawanan pribumi terhadap penjajah terdapat diberbagai daerah, demikian juga terjadi di Lasem.
Belanda dalam praktiknya memonopoli seluruh perdagangan di pantai utara Jawa, pada tahun 1979 mereka menyerang Lasem yang masih di luar pengaruh Belanda. Belanda yang didukung Amangkurat II yang merupakan boneka pemerintah Belanda di Mataram. Terjadi peperangan yang berlarut-larutdan hebat, hingga putra pertama Tejokusumo II yaitu Raden Mas Wingit, yang pada waktu itu menjadi penguasa Lasem terbunuh di tengah-tengah peperangan.
Relasi antara etnis Tionghoa dan pribumi Lasem merupakan struktur sosial yang saling membutuhkan. Relasi ini terjadi pada wilayah elit dan masyarakat di perkampungan pada kehidupan seharihari. Pola hubungan antarelit terjadi pada komunikasi bersama dalam negosiasi, kontestasi maupun relasi yang saling membutuhkan.
Negosiasi antarelit tampak pada kesempatan damai yang terjadi di Lasem untuk mengamankan kota pada isu kekerasan yang terjadi di akhir pemerintahan orde Baru. Negosiasisi ini menjadi titik tolak untuk melihat ancaman-ancaman terhadap harmoni di Lasem yang terjadi sebelumnya, yakni pada masa colonial VOC dengan reaksi perang kuning, Perang antara kaum santri, petani, nelayan Lasem bersama entis Tionghoa dalam melawan penjajah Belanda.
Jawa dan cina hidup berdampingan dan mempunyai nilai perjuangan bersama, corak tersebut dapat dilihat banyaknya pertokoan disepanjang jalan jalan utama Lasem yang dimiliki dan dijalankan oleh warga keturunan Cina. Khusus bisnis level menengah, sejak sebagian warga keturunan Cina mengembangkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, para warga pribumi kaum santri Lasem di antaranya mulai mengembangkan bisnisnya diberbagai macam sektor, terutama bisnis pakaian dan kebutuhan rumbah tangga.
Level tingkatan ekonomi di Lasem mengalami perubahan dari masa sebelum dan sesudah orde baru. Pasca runtuhnya Orde Baru, orang-orang Jawa mulai mengambil alih roda perekonomian dari tangan keturunan Cina, terutama di lokasi sekitar masjid Lasem.
Ketika orang keturunan Tionghoa beserta komunitasnya menyelenggarakan perayaan Imlek, Cap Go Meh, maupun acara kirap budaya perayaan Mak Co di Klenteng, terjadi hubungan yang saling toleran, meski ada sebagian Kyai Lasem yang tidak sepakat acara tersebut, namun acara tersebut tetap berjalan lancar, bahkan perayaan tersebut melintasi masjid Jami' Lasem.
Sebelumnya panitia sowan ke para Kyai yang dianggap simpul masyarakat di tiap daerahnya, seperti Gus Qoyyum, Gus Zaim dan lainnya. Komunikasi cultural ini untuk meminta restu agar keamanan terjamin, tidak ada kecurigaan dan acara dapat berjalan dengan lancar dan tertib ketika melintasi jalan jalan disekitar pesantren.
Lasem merupakan kota berkumpulnya berbagai macam etnis dan ormas. Di dalamnya terdapat berbagai ormas Islam yang hidup dengan rukun antar pengikutnya. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi terbesar yang mempunyai warga yang mayoritas di Lasem. Selain itu ada Muhammadiyah, FPI, HTI dan Jam'iyah Tabligh (JT). Pluralitas ormas yang ada di Lasem berjalan dengan baik. Mereka hidup saling menghormati dan melengkapi, bahkan beberapa kali para pengurus antar ormas tersebut mengadakan pertemuan keakraban dan persaudaraan dalam sebuah wadah organisasi Majlis SILMI (Silaturrahim Umat Islam Lasem).
Fakta lain yang tidak terbantahkan oleh masyarakat Lasem adalah mereka menerima dan mempersilahkan para pendatang untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam masyarakat. Mereka mempersilahkan para pendatang yang ingin berkhidmat dan memberikan pencerahan-pencerahan di masyarakat Lasem. Di antara posisi-posisi strategis dalam masyarakat adalah seperti posisi sebagai ketua NU, pengurus Masjid Jami', sebagai Kyai di pondok pesantren dan lain-lain.
Sejarah persaudaraan Perang Kuning telah merekatkan masyarakat Lasem baik penduduk asli yang mayoritas muslim dengan etnis Cina yang non muslim. Dalam kehidupan keseharian, hubungan kerja sama saling membutuhkan juga terjadi antara orang Tionghoa dengan pribumi Jawa dan santri. Meskipun pengusaha Tionghoa mayoritas sebagai majikan, akan tetapi hal ini tidak menjadi instrument utama tentang dominasi orang Tionghoa di Lasem, dan sebaliknya ketertundukan ekonomi pribumi Jawa dan Santri.
Hubungan sosial antara orang Tionghoa dan santri di Lasem terjalin dengan baik. Perasaan persaudaraan dipadu dengan kenyataan sosial berupa perkawinan silang antara etnis Cina dengan Jawa. Kyai Mazid yang menikah dengan perempuan Tionghoa, dan Thiam Pie yang menikah dengan perempuan pribumi Jawa merupakan lembaran kisah tentang hubungan perkawinan warga lintas entis di Lasem. Dari ilustrasi di atas, hubungan sosial antara orang Tionghoa dan santri di Lasem berimplikasi pada terjaganya nilai keharmonisan di antara warga Lasem. Selain itu juga tercerminkan nilai-nilai toleransi yang terdapat pada masyarakat Lasem antara penduduk asli dan etnis Cina.
Kebersamaan yang terpadu dalam hubungan harmonis dalam narasi Perang Kuning merupakan basis ingatan untuk menjaga relasi damai antarwarga Lasem. Hubungan harmonis itu terjaga di kalangan elit Tionghoa (pengusaha dan pengurus organisasi), dan elit santri (kyai dan pengasuh pesantren) untuk menjaga komunikasi dan meredam ancaman kekerasan.
Kesimpulan
Sejarah telah mencatat interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat Lasem pribumi dengan etnis Cina, sejak abad 14 hingga abad 16. Meskipun interaksi kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni dan toleransi itu senantiasa berjalan dengan baik.
Kedatangan etnis Cina di Lasem melahirkan kebudayaan dan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas itu membentuk sebuah harmonisasi kerukunan dalam beragama dan bersosial. Hubungan yang harmonis antara kedua etnis tersebut terutama ketika bersamasama melawan penjajah Belanda di bumi Lasem. Harmoni dan toleransi masyarakat muslim Lasem juga dapat lihat dari interaksi penduduk asli secara baik dengan para pendatang, baik yang beragama muslim maupun non muslim yang kebanyakan dari etnis Cina.
Dalam kehidupan sehari-hari, harmoni terjaga karena beberapa faktor, yakni perkawinan silang, perasaan bersaudara antarwarga, hingga terbukannya ruangruang sosial. Perkawinan silang antarwarga lintas etnik yang terdiri dari orang Tionghoa, pribumi Jawa dan santri, terjadi sejak hadirnya orang Tionghoa di Lasem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar