Berdasarkan catatan sejarah dan bukti-bukti peninggalan historis diketahui kurang lebih lima anggota Wali Songo sebagai penyebar Islam di wilayah teritorial Jawa Timur. Salah satu paling tua Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai wali perintis yang mengambil wilayah dakwahnya di Gresik dan setelah Maulana Malik Ibrahim wafat digantikan posisinya oleh Sunan Giri yang juga menyebarkan Islam yang berpusat di Gresik. Sunan Ampel menyebarkan Islam yang berpusat wilayah Surabaya, Sunan Bonang menyebarkan Islam di wilayah Tuban dan Sunan Drajad di wilayah Sedayu.
![]() |
Makam Maulana Malik Ibrahim |
Dilihat dari genealogi kewalian, para wali di JawaTimur dan Jawa pada umumnya memiliki ikatan kekerabatan. Sunan Ampel adalah putra Syekh Ibrahim Asmoroqondi yang makamnya berada di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sunan Giri adalah putra Syekh Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu dari Blambangan. Maulana Ishaq adalah bersaudara dengan Sunan Ampel, sehingga Sunan Giri adalah keponakan Sunan Ampel.
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel, sehingga Sunan Bonang dan Sunan Giri ialah saudara sepupu. Demikian pula Sunan Drajad ialah putra Sunan Ampel, sehingga Sunan Bonang bersaudara dengan Sunan Drajad dan saudara sepupu Sunan Giri.
Dari kelima wali tersebut, secara geo-strategis memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki pelabuhan atau kota bandar pelabuhan. Sunan Giri memanfaatkan pelabuhan Gresik, Sunan Bonang memanfaatkan pelabuhan Tuban, Sunan Drajad memanfaatkan pelabuhan Paciran, dan Sunan Ampel memanfaatkan pelabuhan Surabaya. Pelabuhan Surabaya, Gresik, dan Tuban adalah kota bandar pelabuhan besar pada zaman Kerajaan Singasari, Kediridan Majapahit. Perkembangan Islam berawal dari pesisir kemudian kepedalaman.
Pemilihan wilayah pesisir sebagai basis awal Islamisasi dengan bandar pelabuhannya – dalah pesisir menjadi titik inti pertemuan berbagaisuku, tradisi dan budaya dari masyarakat lain. Lalu lintas laut lebih mudah dikala itu dibandingkan dengan wilayah daratan. Oleh karenanya, masyarakat pesisir cenderung lebih terbuka dibandingkan masyarakat pedalaman karenaakses pergaulan yang memang sedari awal lebih luas dan terbuka kepadamasyarakat lainnya.
Di Tuban, Islam diperkirakan masuk ke wilayah ini semenjak abad ke-15 atau tepatnya paruh kedua abad ke-15. Bupati Arya Dikara (1421 M) telah memeluk Islam. Jadi, sebelum Sunan Bonang menyebarkan Islam di wilayah ini, di Tuban telah terdapat pemeluk agama Islam.
Bupati Arya Teja (1460 M) telah memeluk agama Islam. Arya Teja atau Syekh Abdurrahman adalah garis menantu dari cicit Ranggalawe, bupati Tuban yang terbunuh di masa pemerintahan Raden Wijaya.
Syekh Abdurrahman atau AryaTeja adalah suami dari Raden Ayu Arya Teja, putri Bupati Tuban Raden Arya Dikara (Bupati Tuban ke-6). Jadi, pada masa akhir pemerintahan Majapahit, telah ada bupati Tuban yang memeluk agama Islam. Serat babad tuban menyatakan sebagai berikut :Setelah Raden Arya Lena meninggal dunia, putranya bernama Raden Arya Dikara menggantikannya sebagai bupati selama 18 tahun sampai meninggal.
Raden Arya Dikara mempunyai dua putri yaitu Raden Ayu Arya Tejadan Kiai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Arya Teja menikah dengan Syekh Abdurrahman putra dari Syekh Jali / Syekh Jalalludin (Kiai Makam Dowo). Setelah mempunyai menantu Syekh Abdurrahman, Raden Arya Dikara kemudian memeluk agama Islam dan sejak waktu itu di negara Tuban mulaibersemi agama Islam.
Syekh Abdurrahman atau Arya Teja adalah putera Syekh Jali atau biasa disebut dengan Syekh Jalaluddin, atau Kiai Makam Dowo – atau Syekh Ngalimurtolo dari Gresik, masih saudara dengan Sunan Ampel. Semenjak mertua Syekh Abdurrahman – Bupati Arya Teja – Tuban telah menjadi daerah Islam.
Pada permulaan abad ke-16, Tuban telah dipimpin oleh raja yang beragama Islam, Pate Vira. Ia bukan muslim yang taat, meskipun kakeknya sudah masuk Islam. Namun Tuban masih tetap menjalin hubungan dengan Majapahit.
Menurut Babad Tuban Wilatikta ini adalah anak dari Arya Teja, seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan Arya Dikara, untuk masuk Islam dan dijadikan menantu. Nama Arya Teja dalam bahasa Arab adalah Abdurrahman, dan dia menjadi mertua Sunan Ketib (Sunan Ampel). Menurut legenda, bahwa di Tuban terdapat orang suci, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Menurut bukti peninggalan sejarah di Tuban, ada tiga tokoh utama yang hingga saat ini dikenal oleh masyarakat Tuban dan menjadi tujuan utama ziarah makam wali, yaitu Sunan Bonang, Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi, dan Mbah Bejagung. Sebutan-sebutan tersebut menandakan adanya status dan kedekatan hubungan dengan kekuasaan.
Sunan adalah sebutan yang diberikan karena keulamaan dan kedekatan dengan penguasa, Sunan adalahkepemilikan kekuasaan yang bersumber dari dunia dan akhirat, Syekh diberikan dalam kapasitas orang yang dituakan akan tetapi tidak memiliki jalur dengan penguasa, sedangkan Mbah adalah sebutan untuk penghormatan kepada orang tua yang dianggap memiliki kelebihan-kelebihan.
Sunan Bonang adalah salah satu wali yang turut serta mendirikan Kerajaan Demak Bintoro, salah satu ulama terkemuka di bidang syariah dan juga tasawuf serta dianggap wali yang kharismatis sesudah Sunan Ampel.
Syekh Ibrahim Asmoroqondi, putera Syekh Jumadil Kubro, adalah penyebar Islam generasi pertama yang datang di tanah Jawa dan tentunya memiliki bekal keilmuan yang sangat tinggi, selain memiliki jalur keilmuan langsung dengan Islam dari sumber aslinya. Melihat dari namanya, beliau tentunya berasal dari wilayah Samarkand, Asia Tengah dan merupakan orang tua Sunan Ampel. Kedua makam wali ini selalu diziarahi oleh umat Islam dari berbagai penjuru pulau Jawa.
Makam lainnya yang dianggap keramat adalah makam Mbah Bejagung atau Mbah Modin Asy’ari. Dalam keyakinan lokal, Mbah Modin Asy’ari adalah orang yang membikin benteng Kumbakarna dalam waktu semalam.
Mbah Modin Asy’ari inilah yang menghidupkan lampu-lampu masjiddi Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah. Benteng ini dibuat untuk mempertahankan Istana Tuban – kala itu di Dagan sebelah utara Watu Tiban – dari serangan tentara Mataram. Pembuatan benteng itu sempat merisaukan penguasa Mataram yang ketika itu berada dibawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1614 M).
Ketika pembuatan benteng itu selesai, diutuslah Raden Randu Watang untuk mengkonfirmasikan. Berdasarkan laporan itulah, Sutan Mataram menyerang Tuban, sehingga Tuban dapat dikalahkan dan Pangeran Dalem mula-mula mengungsi ke Bawean dan setelah itu menetap di Rajekwesi, Bojonegoro, dan dimakamkan di Desa Kadipatenyang terkenal dengan sebutan Makam Buyut Dalem. Memang, Mbah Modin Asy’ari dikenal sebagai Panglima Tentara Tuban, semasa Bupati Pangeran Dalem, Bupati Tuban ke XVII.
Menurut R. Soeparmo dalam Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (1972:55-65), di daerah pesisir Tuban banyak dijumpai makam penyebar Islam pada masa awal proses Islamisasi di tanah Jawa. Misalnya, di Kecamatan Palang yaitu makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Gesikharjo makam Nyi Gapura Makam Sunan Bejagung Lor di Kecamatan Semanding.
Penyebaran Islam di Jawa dan Masuknya ke Tuban 79 Ageng Ganggeng/Nyai Ageng Manyura (putera Sunan Ampel) di Desa Tasikmadu, makam Raden Gagarmanik (Tundungmungsuh), putera Sultan Mataram II atau Sunan Sedakrapyak, di Desa Tasikmadu.
Syekh Fakir Miskin dan Dewi Hapsariyah (putri Sultan Banten) di Tanjung Awar-awar Tasikharjo, Kiai Ageng Sawo putra Sunan Ampel, Sayyid Idrus Ahmad ibnu Hayyan dari negeri Ngadan, Pangeran Hubeng dari Pajang, dan Pangeran Alas atau Syekh Muhammad Dinul Ngarifin di Kaliuntu Jenu.
![]() |
foto terkait Makm Aryo Tedjo |
![]() |
Makam Maulana Ibrahim Asmoroqondi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar