Minggu, 20 Maret 2016

Muhammad Irwansyah Keadilan dibeli Dengan UANG


KEADILAN DIBELI DENGAN UANG

Terkadang kita berfikir bahwa implementasi dan perspektif manusia dalam hakikat keadilan itu sifatnya relatif, sehingga tidak sedikit dan banyak orang mengasumsikan bahwa dalam implementasikan sebuah keadilan itu tergantung pada perspektif masing masing individu itu sendiri, pada konsekuensinya polapikir yang demikian menyebabkan individu memandang keadilan bisa diraih pada kepuasaan individu sebagai subyek hukum, dapat dikatakan tiap orang mempunyai standart keadilan sendiri sehingga dalam pandangan universal juga dipertanyakan apakah standar orang masing masing individu tersebut sesuai atau kurang sesuai dengan hakikat keadilan itu sendiri, namun kita tak perlu berfikir rumit pula, maka sederhananya keadilan kita konsepkan adanya penempatan seseorang itu sesuai dengan porsinya, dalam sejarah klasik sendiri mengatakan keadilan sendiri sebagai sebuah tujuan dari hukum dan secara tidak langsung bicara tentang tujuan maka antara hukum dengan keadilan itu mempunyai tempat yang berbeda dengan sederhananya seperti A adalah sebagai hukum sedangkan B sebagai tujuan maka ketika si A ingin mencapai sebuah keadilan sebagai tujuan yakni b tersebut adakalanya orang tersebut tidak sampai pada tujuan yang ingin dicapai, ntah itu dala proses perjalanan itu kehabisan bahan bakar ataukah ada hal hal dapat menghalangi tujuan tersebut, saya analogikan halnya ridwan sebagai hukum dan monas sebagai keadilan atau tujuan dari irwan, irwan menuju monas dengan mengendarahi motor untuk mencapai keadilan dalam proses perjalanan irwan bisa bisa tak nyampai pada tujuannya yakni monas ntah itu bahan bakarnya habis, sehingga irwan takbia mencapai sebuah keadilan.

            Sebagian ahli mengatakan hukum itu mempunyai beberapa tujuan diantaranya keadilan sebagai tujuan, seperti ilmuan yang bernama friedman berargumen bahwa hukum sendiri memiliki tujuan yakni keadilan, manfaat, dan kepastian maka jika kita tarik pada subyek hukum yang lebih spesifiknya kita bicara penegak hukum seperti hakim, maka diantara tujuan yang dikatakan friedman diatas eksistensi dari hakim itu diharuskan seorang ilmuan sehingga antara hukum dengan tujuannya dapat dikalkulasikan sehingga satu bagian tubuh yang tidak dipisahkan artinya ketika hukum sudah menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh maka yang diprioritaskan adalah implementasi sebuah keadilan itu sendiri sehingga lahirlah sebuah konsep keadilan melekat pada hukum sendiri, tak disadari dalam hukum memiliki asaz yang mengatakan jika dalam hukum itu sendiri didalamnya tidak adanya sebuah keadilan maka itu tidak bisa disebut dengan hukum.

            Memang antara hakikat sebuah hukum sendiri dalam kajian sosiologi seolah olah tempat yang berbeda dalam implementasiannya maka eksistensi cenderung spekulatif oleh sebab itu kita kembali pada implementasi pada hakikat hukum itu sendiri, dengan demikian yang menjadi pertanyaan bagaimanakah sosiologis implementasi hukum itu sendiri dalam ranah indonesia lebih lebihnya pada penegak hukum, bicara realita tak jarang pula dalam medsos sering kita dikabarkan berbagai persoalan hukum sehingga diperbincangkan masyarak luas adalah hukum hukum dan hukum, tidak sedikit dan banyak orang bertanya tanya apakah hukum senidri bersahabat dekat dengan yang namanya uang,hehe.... sehingga lucu jika kita bicarakan, jika pelaku penentang hukum itu kalangan bawah atau orang pinggiran dalam telinga kita kok rasanya sudah tak asing lagi, tapi yang eronisnya perlawangan terhadap hukum itu dilakukan oleh penegak hukum yang terlihat aneh itu sebut saja hakim padahal hakim itu banyak dikatakan tempat dan posisi kedudukannya sebagai wakil tuhan dibumi ketika dalam  pemutusan perkara karena sudah tertera jelas bahwa dalam pemutusan perkara hakim sendiri bersifat independent dan takbisa dintervensi oleh pihak manapun, jikalau hakim dalam pemutusan perkara kurang atau tidak sesuai dengan hakikat hukum itu sediri bagaiimana ? jika kita bertanya demikian rasanya kok tuhan itu tidak adil mengapa tuhan bisa dibeli dengan lembaran kertas lalu bagaimana pandangan hukum itu sendiri....

            Sudah dikatakan secara mendasar hukum itu sendiri bahwa, dalam kandungan hukum jika tidak adanya sebuah keadilan maka secara tegas itu bukanlah sebuah hukum sekalipun itu dalam implementasiaanya maka yang perlu dipertanyakan adalah pengemban atau subyek hukum itu sendiri karena disatu sisi yang menjadi berkuasa adalah subyek hukum itu sendiri coba kita bayangkan bahwa jika hukum itu dibuat dengan sebijak apapun itu jika dalam implementasiannya kurang sesuai maka tak bernilai juga hukum itu sendiri, namun jika kita rasiokan bahwa dalam ranah duniawi ini dalam hukum sendiri sangat dipengaruhi oleh subyek hukum karena dengan sesbuah kewenangan dan kekuasaan  hukum bisa dicetak seperti apa saja sesuai dengan kehendak pada subyek hukum atau pembuat hukum, tetatpi dalam konteks indonesia yang dijadikan sebagai pedoman adalah aturan tertulis sebagai salah satu otoriter hukum, maka yang perlu dipertanyakan adalah subyek hukum itu sendiri yang berperan penuh seperti dalam kekuasaanya  lembaga pembuuat hukum dpr.

            Coba kita renungkan bersama jika pembuat hukum itu tak menyandarkan dirinya pada nilai nilai ketuhanan maka apalah jadinya produk hukum yang dihasilkan dan secara tidak langsung bahwa produk tersebut juga mengikuti pada si pembuatt hukum itu senidiri, maka sudah tentu jika sipemgemban hukum itu menyandarkan diri pada nilai ketuhanan maka tak langsung juga produk hukum tersebut akan mengarah pada nilai ketuhanan seperti halnya hakikat ulama ketika membuat sebuah fatwa sudah barang tentu mengarah  pada landasan nilai ketuhanan.

            Bicara sosiologi rasanya kok  terlihat sesuatu yang seakan akan tidak bisa nyampai pada hakikat tujuan hukum itu sendiri, menyinggung yang tersirat diatas membicarakan masyarakat luas yang tak pernah puas akan adanya hukum yang ada diindonesia, rakyat jelata katanya kebijakan yang baru saja disahkan sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat seakan akan dapat memberikan sebuah ketenangan padanya namun bicara sosiologis pada kalangan atas tersebut hanya memberikan jani palsu sehingga masyarakat luas meneyebutnya hukum pada realitanya hanya bisa diimplementasikkan sebuah hukum sebagai tumpul keatas dan tajam kebawah, sudah tak mengherankan jika pejabat yang baru saja secara terang terangan merampok dan mengorupsi uang negara bahkan uang masyarakat berjuta juta lembaran hingga milyaran yang seharusnya hukum diaplikasikan dengan konsekuensi yang sesuai dengan perbuatannya namun dengan lembaran kertas juga hukuman itu dapat dijadikan sebuah permainan sehingga hanya beberapa bulan saja sudah seperti orang yang tak pernah memakan penjara, coba kita bandingkan nenek minah yang secara psikologi tak sengaja mengambil buah kakao hukumannya seperti sama rata pada pejabat tadi dan nominal yangg diambil sangat jauh, padahal nenek ini secara terang terangan sudah meminta maaf sipemilik buah, rasanya seperti orang miskin itu ditancapkan kebawah sedangkan orang yang kaya dijunjung pula dengan kekayaannya.

            Sebenarnya jika kita memegang teguh pada nilai ketuhanan maka seperti demikian itu takkan pernah terjadi karena hakikat ajaran tuhan sudah tentu mengajarakan duniawi dan urusan uhrowi sesuai dengan kaidah sila pertama dalam pancasila nilai dari ketuhanan, namun yang menjadi standart kita dalam kehidupan masyarakat adalah aturan yang ada diindonesia lalu ketika aturan itu diindahkan maka tak jarang pula kejahatan terjadi dimana mana, bahkan jika kita menganut aturan sendiri diindonesia sudah banyak terjadi kekurangannya apalagi tak indahkan maka apa yang terjadi.... seperti halnya beberapa aturan terdapat dalam kuhp dalam pandangan agama juga banyakk yang dipertentangkan seperti halnya hukuman pada perzinaan yang dilakukan apada sepasang laki dengan perempuan yang sudah dewasa aturan kuhp pasal 284 hanya menyinggung perzinaan pada ikatan suami istri jiika belum adanya sebuah ikatan amaka hukum tersebut takbisa dijeratkan apada pelakunya, dari bebrapa pandangan ttokoh agama sudah tak sesuai aturan tersebut seakan akan produk yang dihasilkan pada pemikiran barat mengesampingkan nilai agama, akhir ini juga menjadi perhatian publik tak jarang pula para selebritis menjual dirinya dengan beberapa nominal hingga dirinya mempunyai standart dalam mempromosikannya.

            Saya menyinggung pula diatas berkenaan dengan aturan yang tertera dalam kuhp tak lama juga saya kemarin mengambil matkul hukum acara pidana dari beberapa pasal dalam kuhp yang saya pelajari jika ketika penegak hukum yang sudah menangkap dan ditetapkan sementara sebagai pelaku perbuatan melawan hukum dan si pihak penegak hukum seperti polisi sudah melaksanakn tugasnya dan sudah berjalan beberapa bulan hingga beberapa tahun lamanya dijeratkan hukum dan jika yang dijatuhkan hukuman sudah menjalani masa hukuman pada endingnya pelaku tersebut dengan beberapa bukti dan dinyatakan tak bersalah, dalam kisah realita ini sering dijumpai dengan kesalahan pada syarat formil tak dipenuhi, sehingga yang perlu dipertanyaan para penegak hukum yang sudah memroses peleku tak bersalah penegak hukum tak diberikan sebuah sanksi yang sesuai dengan perbuatannya itu, dan mengenai ganti rugi dalam aturan tertera hanya diatsnamakan dan diukur dengan ganti uang, maka dengan peristiwa tersebut bahwa implementasi hukum seakan akan hanya dapat diukur keadilan dengan uang begitupun ddengan aturan yang ada.






Salam:1922

Tidak ada komentar:

Posting Komentar