KEADILAN
DIBELI DENGAN UANG
Terkadang
kita berfikir bahwa implementasi dan perspektif manusia dalam hakikat keadilan
itu sifatnya relatif, sehingga tidak sedikit dan banyak orang mengasumsikan
bahwa dalam implementasikan sebuah keadilan itu tergantung pada perspektif
masing masing individu itu sendiri, pada konsekuensinya polapikir yang demikian
menyebabkan individu memandang keadilan bisa diraih pada kepuasaan individu
sebagai subyek hukum, dapat dikatakan tiap orang mempunyai standart keadilan
sendiri sehingga dalam pandangan universal juga dipertanyakan apakah standar
orang masing masing individu tersebut sesuai atau kurang sesuai dengan hakikat
keadilan itu sendiri, namun kita tak perlu berfikir rumit pula, maka
sederhananya keadilan kita konsepkan adanya penempatan seseorang itu sesuai
dengan porsinya, dalam sejarah klasik sendiri mengatakan keadilan sendiri
sebagai sebuah tujuan dari hukum dan secara tidak langsung bicara tentang tujuan
maka antara hukum dengan keadilan itu mempunyai tempat yang berbeda dengan
sederhananya seperti A adalah sebagai hukum sedangkan B sebagai tujuan maka
ketika si A ingin mencapai sebuah keadilan sebagai tujuan yakni b tersebut adakalanya
orang tersebut tidak sampai pada tujuan yang ingin dicapai, ntah itu dala
proses perjalanan itu kehabisan bahan bakar ataukah ada hal hal dapat
menghalangi tujuan tersebut, saya analogikan halnya ridwan sebagai hukum dan
monas sebagai keadilan atau tujuan dari irwan, irwan menuju monas dengan
mengendarahi motor untuk mencapai keadilan dalam proses perjalanan irwan bisa
bisa tak nyampai pada tujuannya yakni monas ntah itu bahan bakarnya habis,
sehingga irwan takbia mencapai sebuah keadilan.
Sebagian ahli mengatakan hukum itu
mempunyai beberapa tujuan diantaranya keadilan sebagai tujuan, seperti ilmuan
yang bernama friedman berargumen bahwa hukum sendiri memiliki tujuan yakni
keadilan, manfaat, dan kepastian maka jika kita tarik pada subyek hukum yang
lebih spesifiknya kita bicara penegak hukum seperti hakim, maka diantara tujuan
yang dikatakan friedman diatas eksistensi dari hakim itu diharuskan seorang
ilmuan sehingga antara hukum dengan tujuannya dapat dikalkulasikan sehingga
satu bagian tubuh yang tidak dipisahkan artinya ketika hukum sudah menjadi
sebuah satu kesatuan yang utuh maka yang diprioritaskan adalah implementasi
sebuah keadilan itu sendiri sehingga lahirlah sebuah konsep keadilan melekat
pada hukum sendiri, tak disadari dalam hukum memiliki asaz yang mengatakan jika
dalam hukum itu sendiri didalamnya tidak adanya sebuah keadilan maka itu tidak
bisa disebut dengan hukum.
Memang antara hakikat sebuah hukum
sendiri dalam kajian sosiologi seolah olah tempat yang berbeda dalam
implementasiannya maka eksistensi cenderung spekulatif oleh sebab itu kita
kembali pada implementasi pada hakikat hukum itu sendiri, dengan demikian yang
menjadi pertanyaan bagaimanakah sosiologis implementasi hukum itu sendiri dalam
ranah indonesia lebih lebihnya pada penegak hukum, bicara realita tak jarang pula
dalam medsos sering kita dikabarkan berbagai persoalan hukum sehingga
diperbincangkan masyarak luas adalah hukum hukum dan hukum, tidak sedikit dan
banyak orang bertanya tanya apakah hukum senidri bersahabat dekat dengan yang
namanya uang,hehe.... sehingga lucu jika kita bicarakan, jika pelaku penentang
hukum itu kalangan bawah atau orang pinggiran dalam telinga kita kok rasanya
sudah tak asing lagi, tapi yang eronisnya perlawangan terhadap hukum itu
dilakukan oleh penegak hukum yang terlihat aneh itu sebut saja hakim padahal
hakim itu banyak dikatakan tempat dan posisi kedudukannya sebagai wakil tuhan
dibumi ketika dalam pemutusan perkara
karena sudah tertera jelas bahwa dalam pemutusan perkara hakim sendiri bersifat
independent dan takbisa dintervensi oleh pihak manapun, jikalau hakim dalam
pemutusan perkara kurang atau tidak sesuai dengan hakikat hukum itu sediri
bagaiimana ? jika kita bertanya demikian rasanya kok tuhan itu tidak adil
mengapa tuhan bisa dibeli dengan lembaran kertas lalu bagaimana pandangan hukum
itu sendiri....
Sudah dikatakan secara mendasar
hukum itu sendiri bahwa, dalam kandungan hukum jika tidak adanya sebuah
keadilan maka secara tegas itu bukanlah sebuah hukum sekalipun itu dalam
implementasiaanya maka yang perlu dipertanyakan adalah pengemban atau subyek
hukum itu sendiri karena disatu sisi yang menjadi berkuasa adalah subyek hukum
itu sendiri coba kita bayangkan bahwa jika hukum itu dibuat dengan sebijak apapun
itu jika dalam implementasiannya kurang sesuai maka tak bernilai juga hukum itu
sendiri, namun jika kita rasiokan bahwa dalam ranah duniawi ini dalam hukum
sendiri sangat dipengaruhi oleh subyek hukum karena dengan sesbuah kewenangan
dan kekuasaan hukum bisa dicetak seperti
apa saja sesuai dengan kehendak pada subyek hukum atau pembuat hukum, tetatpi dalam
konteks indonesia yang dijadikan sebagai pedoman adalah aturan tertulis sebagai
salah satu otoriter hukum, maka yang perlu dipertanyakan adalah subyek hukum
itu sendiri yang berperan penuh seperti dalam kekuasaanya lembaga pembuuat hukum dpr.
Coba kita renungkan bersama jika
pembuat hukum itu tak menyandarkan dirinya pada nilai nilai ketuhanan maka
apalah jadinya produk hukum yang dihasilkan dan secara tidak langsung bahwa
produk tersebut juga mengikuti pada si pembuatt hukum itu senidiri, maka sudah
tentu jika sipemgemban hukum itu menyandarkan diri pada nilai ketuhanan maka
tak langsung juga produk hukum tersebut akan mengarah pada nilai ketuhanan
seperti halnya hakikat ulama ketika membuat sebuah fatwa sudah barang tentu
mengarah pada landasan nilai ketuhanan.
Bicara sosiologi rasanya kok terlihat sesuatu yang seakan akan tidak bisa
nyampai pada hakikat tujuan hukum itu sendiri, menyinggung yang tersirat diatas
membicarakan masyarakat luas yang tak pernah puas akan adanya hukum yang ada
diindonesia, rakyat jelata katanya kebijakan yang baru saja disahkan sebagai
tolak ukur kesejahteraan masyarakat seakan akan dapat memberikan sebuah
ketenangan padanya namun bicara sosiologis pada kalangan atas tersebut hanya
memberikan jani palsu sehingga masyarakat luas meneyebutnya hukum pada
realitanya hanya bisa diimplementasikkan sebuah hukum sebagai tumpul keatas dan
tajam kebawah, sudah tak mengherankan jika pejabat yang baru saja secara terang
terangan merampok dan mengorupsi uang negara bahkan uang masyarakat berjuta
juta lembaran hingga milyaran yang seharusnya hukum diaplikasikan dengan konsekuensi
yang sesuai dengan perbuatannya namun dengan lembaran kertas juga hukuman itu
dapat dijadikan sebuah permainan sehingga hanya beberapa bulan saja sudah
seperti orang yang tak pernah memakan penjara, coba kita bandingkan nenek minah
yang secara psikologi tak sengaja mengambil buah kakao hukumannya seperti sama rata
pada pejabat tadi dan nominal yangg diambil sangat jauh, padahal nenek ini
secara terang terangan sudah meminta maaf sipemilik buah, rasanya seperti orang
miskin itu ditancapkan kebawah sedangkan orang yang kaya dijunjung pula dengan
kekayaannya.
Sebenarnya jika kita memegang teguh
pada nilai ketuhanan maka seperti demikian itu takkan pernah terjadi karena hakikat
ajaran tuhan sudah tentu mengajarakan duniawi dan urusan uhrowi sesuai dengan
kaidah sila pertama dalam pancasila nilai dari ketuhanan, namun yang menjadi
standart kita dalam kehidupan masyarakat adalah aturan yang ada diindonesia
lalu ketika aturan itu diindahkan maka tak jarang pula kejahatan terjadi dimana
mana, bahkan jika kita menganut aturan sendiri diindonesia sudah banyak terjadi
kekurangannya apalagi tak indahkan maka apa yang terjadi.... seperti halnya beberapa
aturan terdapat dalam kuhp dalam pandangan agama juga banyakk yang
dipertentangkan seperti halnya hukuman pada perzinaan yang dilakukan apada
sepasang laki dengan perempuan yang sudah dewasa aturan kuhp pasal 284 hanya
menyinggung perzinaan pada ikatan suami istri jiika belum adanya sebuah ikatan
amaka hukum tersebut takbisa dijeratkan apada pelakunya, dari bebrapa pandangan
ttokoh agama sudah tak sesuai aturan tersebut seakan akan produk yang
dihasilkan pada pemikiran barat mengesampingkan nilai agama, akhir ini juga
menjadi perhatian publik tak jarang pula para selebritis menjual dirinya dengan
beberapa nominal hingga dirinya mempunyai standart dalam mempromosikannya.
Saya menyinggung pula diatas berkenaan
dengan aturan yang tertera dalam kuhp tak lama juga saya kemarin mengambil
matkul hukum acara pidana dari beberapa pasal dalam kuhp yang saya pelajari
jika ketika penegak hukum yang sudah menangkap dan ditetapkan sementara sebagai
pelaku perbuatan melawan hukum dan si pihak penegak hukum seperti polisi sudah
melaksanakn tugasnya dan sudah berjalan beberapa bulan hingga beberapa tahun
lamanya dijeratkan hukum dan jika yang dijatuhkan hukuman sudah menjalani masa
hukuman pada endingnya pelaku tersebut dengan beberapa bukti dan dinyatakan tak
bersalah, dalam kisah realita ini sering dijumpai dengan kesalahan pada syarat
formil tak dipenuhi, sehingga yang perlu dipertanyaan para penegak hukum yang
sudah memroses peleku tak bersalah penegak hukum tak diberikan sebuah sanksi
yang sesuai dengan perbuatannya itu, dan mengenai ganti rugi dalam aturan
tertera hanya diatsnamakan dan diukur dengan ganti uang, maka dengan peristiwa
tersebut bahwa implementasi hukum seakan akan hanya dapat diukur keadilan
dengan uang begitupun ddengan aturan yang ada.
Salam:1922
Tidak ada komentar:
Posting Komentar