![]() |
Gamabar Ilustrasi |
Sebelum diuraikan tentang adanya Pondok Pesantren di Indonesia
pada khususnya di Pulau Jawa, disini perlu diuraikan asal usulnya istilah
pondok pesantren. Perkataan pesantren
berasal dari kata Santri dengan awalan ‘pe’ di depan, dan mendapat akhiran
‘an’, berarti tempat tinggal para santri, Profesor John berpendapat bahwa
istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji.
Sedangkan CC Berg berpendapat bahwa istilah santri berasl dari
istilah Shanstri, yang dalam bahasa India berarti orang-orang yang tahu
buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang ahli dalam bidang kitab Agama Hindu.
Sehingga untuk
mengikuti pertumbuhan pondok pesantren ada beberapa pendapat tentang kapan,
dimana dan bagaimana pertumbuhan pondok pesantren. Diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pondok pesantren mulai berdiri sejak penyebaran Islam di
Nusantara pada abad ke 15. Tokoh yang pertama mendirikan adalah Syekh Maulana
Malik Ibrahim (wafat 1419 M) yang berasal dari Gujarat India, sekaligus tokoh
pertama yang mengislamkan Jawa.
Maulana malik Ibrahim dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan
masjid dan pesantren, sebagai pusat transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya,
transmisi yang dikembangkan oleh Maulana Malik Ibrahim, ini melahirkan Wali
Songo dalam jalur jaringan intelektual/ulama, Dari sinilah Raden Rahmad (Sunan Ampel)
mendirikan pesantren pertama di Kembangkuning Surabaya tahun 1619.
Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama di Ampel Denta, Surabaya.
Pesantren ini semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur saat itu.
Pada tahap berikutnya berdiri pesantren baru di berbagai tempat, seperti Sunan
Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Derajat di Paciran, Lamongan,
Raden Fatah di Demak, Jawa Tengah.
Seperti halnya pendapat dari Husni Rahim, bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan dan pusat penyiaran Islam tertua yang lahir dan
berkembang seirama dengan masuknya Islam di Indonesia.
Pada umumnya awal berdiri pondok pesantren adalah sangat
sederhana, kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar (musholla)
atau masjid, lama kelamaan pengajian ini berkembang seiring dengan pertumbuhan
jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga yang
unik yang disebut pesantren.
Di dalam buku Sejarah
Pendidikan Islam dituangkan bahwa Maulana Malim Ibrahim berhasil mencetak kader
mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali lain adalah murid daripada Malik Ibrahim
yang digembleng dengan pendidikan sistem pondok pesantren.
Kedua, pondok pesantren berawal sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih
hidup. Dalam awal kalinya, dakwah Nabi SAW melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi dengan peserta kelompok orang-orang dilakukannya di
rumah-rumah seperti yang dicatat dalam sejarah, Arqom bin Abi Arqom, sekelompok
dalam assabiqunal awwalun (orang-orang terdahulu) inilah yang kelak yang menjadi perintis dan
pembuka jalan penyebaran Agama Islam di Arab, Afrika dan akhirnya menyebar ke
seluruh dunia.
Ketiga, pondok pesantren merupakan hasil adopsi Hindu dan Budha,
sebagaimana diketahui, sewaktu Islam dan berkembang di Pulau Jawa, telah ada
pengaruh Hindu dan Budha, yang menggunakan sistem biara, dan asrama sebagai
tempat pendeta dan biksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para
pengikutnya.
Di dalam buku Sejarah Pendidikan Islam diterangkan bahwa
orang-orang yang mula-mula masuk Islam (Assabiqunal awwalun), dan mereka secara
langsung diajar dan dididik oleh Nabi untuk menjadi muslim, dan siap menerima
dan melaksanakan petunjuk dan perintah Allah yang akan turun kemudian. Pada
tahap awal ini, pusat kegiatan pendidikan Islam diselenggarakan secara
tersembunyi di rumah Arqom bin Abi Arqom.
Berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Indonesia,
lembaga pondok pesantren pada masa itu, dimaksudkan sebagai tempat pengajaran
ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pondok pesantren
berasal bukan dari tradisi Islam adalah tidak ditemukan lembaga Pondok
Pesantren di Negara-negara Islam lainnya.
Kalau dilihat menhgenai produk atau alumni dari pendidikan pondok
pesantren bersifat kolot pada saat itu. Menurut Geertz bahwa sifat kekolotan
itu ialah penerimaan mereka terhadap elemen-elemen sinkretis yang bertentangan
dengan Islam atau dapat juga pemahaman agama secara tekstual.
Identifikasi tentang Islam kolot ini sama dengan apa yang Geertz
simpulkan tentang ciri-ciri abangan yang merupakan campuran dari pada kehidupan
keagamaan yang bersifat animisme,
Hindu Budistis dan Islam.
Sesuai
dengan yang digambarkan oleh Samson, bahwa yang menyegarkan wajah Islam kolot
di Jawa sebagai penganut suatu sistem keagamaan yang didasarkan kepada campuran
daripada elemen animisme, Hindu Budiistis dan Islam
sehingga karakter budaya yang dimiliki
termasuk pondok pesantren akan mendapat pengaruh dari pada agama Hindu Budha di
Jawa.
Pada
sisi lain mengenai persamaan bentuk antara pendidikan pesantren dan pendidikan
milik Hindu dan Buda di India dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak
dijumpai pada sistem pendidikan Islam asli di Mekkah. Unsur – unsur ini antara
lain pendiidkan berisi ilmu agama, kyai tidak mendapat gaji, penghormatan
tinggi kepada guru, pondok pesantren didirikan di luar kota.
Keempat, pondok pesantren menurut sejarah akar berdirinya pada tradisi
Islam sendiri yaitu tradisi tarekat atau jalan. Sehingga pondok pesantren
mempunyai kaitan erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat
ini didasari fakta, bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih
banyak dikenal dengan bentuk kegiatan tarekat.
Terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan
dzikir dan wirid-wirid tertentu mislanhya salah satu saudara saya yang ada di
Tuban Jatim mengembangkan pondok yang berlatar belakang tarekat naqsabandiyah
menurut pernyataannya beberapa bulan ketika berbimcang-bincang seseorang sudah
mengikuti tarekat tersebut harus dibaeat serta mengamalkan dzikir pagi, sore,
malam dan seterusnya.
Tarekat tersebut merupakan salah satu pemahaman dari ahli sunnah
waljamaah, namun mempunya silsilah dan mempunyai tafsir tersendiri kebenaran
yang ia yakini, bahkan sistem pemahaman tersebut sifatnya turun menurun,
sebagaimana wasilah ijazah yang diterima dari pendahulu.
Wilayah nusantara termasuk jawa dalam perkembangannya pondok
pesantren yang menganut tarekat mempunyai corak budaya yang berbeda-beda sebab,
sebab dalam penyebarannya tokoh tarekat sendiri berbeda-beda namun pada
kejelasannya intisari pendekatan tarekat itu bertujuan untuk membersihkan hati
atau jiwa, sehingga dengan bertarekat dapat dekat Allah sang pencipta.
Menurut Zamakhsyari Dhofir, pada
waktu abad pertama, sejarahnya Islam lebih banyak merupakan kegiatan tarekat
dimana terbentuk kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan dzikir dan
wirid.
Dimana para kyai
pimpinan tarekat mewajibkan pengikut pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama 40 hari dalam
waktu 1 tahun.
Sehingga peranan pondok pesantren
dalam penyebaran Islam dan dalam pemantapan kataatan masyarakat kepada Islam di
Jawa telah dibahas oleh Doktor Sobardi dan Prof. John bahwa lembaga-lembaga
pesantren yang paling membentuk watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam
dan memegang peranan paling penting bagi agama Islam sampai pelosok-pelosok.
Lembaga pesantren itulah asal usul jumlah manuscript, tentang
pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas dikumpulkan
oleh pengembara-pengembara pertama dan perusahaan Belanda dan Inggris sejak
abad 16 untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi ini kita harus
memulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren karena lembaga-lembaga inilah
menjadi anak panah menjadi penyebar Islam di wilayah ini.