Gang
mangun joyo Desa Pekuwon memang lewatanku setiap hari jika aku harus berpergian,
desaku ini meskipun tidak begitu berkembang seperti desa lainnya yang dipenuhi
perkembangan industri maju namun desa sering dikenal dengan masyakat mayoritas
santri. jika masayarakat lainnya menyebut sebodoh-bodohnhya orang pekuwon masih
tetap bisa mengaji.
![]() |
Muntamah Foto |
Masyarakat
Desa Pekuwon kota Tuban mayoritas berprofesi sebagai petani termasuk latar
belakang bapak dan ibuku, namun menyayangkan aku ditimang sejak kecil belajar
menginjakkan kaki ketanah dan belum bisa berjalan lancar aku dikala itu
ditinggalkan oleh bapak (Djuri Alm).
Tetanggaku
sekitar sering memanggil akrab pada ibuku Muntamah atau yu muntamah dalam
bahasa jawa, banyak orang mengenal ibuku adalah sesosok yang ramah pada
tetangga dibuktikan pada sikap setiap harinya kepada siapapun beliau kenal jika
bertemu dengan tetangga pasti akan menyapanya dengan sapaan khas orang jawa
(ape nondi/mau kemana).
Keluarga kami mengenal betul sesosok ibu
muntamah yang dikenal pula orang yang sederhana, dan pintar dalam mengatur
keluarga termasuk pada anak-anaknya, akupun menganggapnya sesosok beliau adalah
pejuang pada anak, sebab aku terlahir dari seorang ibu yang hidup sendiri yang
membesarkanku tanpa bapak (Alm), meninggal ketika itu aku beranjak belajar
berjalan.
Ibu
memang dari dahulu sangat menyukai rumah yang dianggap bernilai sejarah perjuangan
ketika dibangun bersama-sama sang bapak bahkan menurutnya beliau tidak akan
pernah meninggalkan rumah itu mengingat perjuangannya membangun rumah dengan
pahit, meski bangunan terlihat sederhana.
Pada
suatu kesempatan di tahun baru kemarin 2020 orang suka berjalan-jalan tempat
yag mewah bersenang-senang, kupikir aku lebih suka melihat rumah halaman kala
aku dilahirkan, karena bisa bercakap-cakap dengan keluarga terlebih pada ibu, senang
campur haru mendengar cerita ibu.
Aku
sebagai anak yang terahir / bungsu dari 5 saudara, perempuan dua yang sudah
tinggal didesa sedangkan aku dan bertiga laki-laki merantau tinggal di kota
orang. Karena ada beberapa keperluanlah aku meluangkan waktu untuk pulang
ketanah halaman,
Kesempatan
itulah aku mendengar cerita keluh kesah seorang ibu bercerita perjuangan
membesarkan sang anak. jika kalian saat ini dan masa kecilmu sering
ditimang-timang dan bersuka cita menghabiskan waktu dengan sang ibu, tetapi
ibuku punya cerita yang beda tetapi pilu mengaharukan ketika mengandung anak
kedua laki-laki (Muhajir).
Saat itu ibu mengandung kurang lebih 8 bulan
yang hampir keluar dari kandungan menghirup udara segar, dan seharusnya seusia
itu seorang ibu haruslah duduk manis sambil menjaga kesehatan untuk
memepersiapkan sang bayi keluar, tetapi tidak untuk ibu.
Atas
dasar tuntutan ekonomi seorang ibu rela bekerja pada orang untuk mencari sesuap
nasi, sedangkan bapak juga bekerja didesa orang saat ini menjadi wilayah
lamongan perbatasan dengan tuban, yang harus merantau berminggu-minggu tidak
pulang kerumah, bahkan waktu itu makan nasi padi saja sangatlah jarang dan
keseringannya memakan nasi kuning terbuat dari jagung alami.
Coba
kalian bayangkan jika kalian mendengar keluh kesah sang ibu yang memperjuangkan
anak masih dalam kandungan berusia delapan bulan namun sang ibu masih berkerja
ditengah-tengah sawah dibawah panas teriknya matahari, tetapi sang ibu masih
menikmatinya demi memperjuangkan sang anak.
Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi saat hujan ketika sang ibu disuruh
untuk bekerja disawah menanam padi atau tandur dalam istilah jawa, harus
berderet-deret ,menancapkan bibit padi sambil memegang perut besar yang sudah
hamil kurang lebih 8 bulan.
Bahkan
ketika kumendengar cerita ibu, saat mengandung tua hingga saat ibu melahirkan
anak kedua tersebut dalam jangka anak berusia 40 hari yang masih berkulit merah
harus ditinggalkan karena sebuah kondisi yang mengharuskan untuk bekerja,
sedangkan sang bayi dirawat dan didampingi oleh nenek yang kala itu masih
hidup.
Atas
dasar penuh kesederhanaan latar belakang keluarga, dan atas perjuangan ibu yang
begitu jauh kami bersaudara dibesarkan dan harapan sang ibu dulu membersarkan penuh
liku, ibu berharap besar kemudian hari kami enam bersaudara dapat hidup lebih
baik, dan berharap kepahitan itu cukup dialami oleh orang tua/ibu demi kebaikan
dan masa depan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar