Selasa, 07 Januari 2020

Muntamah Sang Pejuang anak


Gang mangun joyo Desa Pekuwon memang lewatanku setiap hari jika aku harus berpergian, desaku ini meskipun tidak begitu berkembang seperti desa lainnya yang dipenuhi perkembangan industri maju namun desa sering dikenal dengan masyakat mayoritas santri. jika masayarakat lainnya menyebut sebodoh-bodohnhya orang pekuwon masih tetap bisa mengaji.
Muntamah Foto

Masyarakat Desa Pekuwon kota Tuban mayoritas berprofesi sebagai petani termasuk latar belakang bapak dan ibuku, namun menyayangkan aku ditimang sejak kecil belajar menginjakkan kaki ketanah dan belum bisa berjalan lancar aku dikala itu ditinggalkan oleh bapak (Djuri Alm).

Tetanggaku sekitar sering memanggil akrab pada ibuku Muntamah atau yu muntamah dalam bahasa jawa, banyak orang mengenal ibuku adalah sesosok yang ramah pada tetangga dibuktikan pada sikap setiap harinya kepada siapapun beliau kenal jika bertemu dengan tetangga pasti akan menyapanya dengan sapaan khas orang jawa (ape nondi/mau kemana).

 Keluarga kami mengenal betul sesosok ibu muntamah yang dikenal pula orang yang sederhana, dan pintar dalam mengatur keluarga termasuk pada anak-anaknya, akupun menganggapnya sesosok beliau adalah pejuang pada anak, sebab aku terlahir dari seorang ibu yang hidup sendiri yang membesarkanku tanpa bapak (Alm), meninggal ketika itu aku beranjak belajar berjalan.

Ibu memang dari dahulu sangat menyukai rumah yang dianggap bernilai sejarah perjuangan ketika dibangun bersama-sama sang bapak bahkan menurutnya beliau tidak akan pernah meninggalkan rumah itu mengingat perjuangannya membangun rumah dengan pahit, meski bangunan terlihat sederhana.

Pada suatu kesempatan di tahun baru kemarin 2020 orang suka berjalan-jalan tempat yag mewah bersenang-senang, kupikir aku lebih suka melihat rumah halaman kala aku dilahirkan, karena bisa bercakap-cakap dengan keluarga terlebih pada ibu, senang campur haru mendengar cerita ibu.

Aku sebagai anak yang terahir / bungsu dari 5 saudara, perempuan dua yang sudah tinggal didesa sedangkan aku dan bertiga laki-laki merantau tinggal di kota orang. Karena ada beberapa keperluanlah aku meluangkan waktu untuk pulang ketanah halaman,

Kesempatan itulah aku mendengar cerita keluh kesah seorang ibu bercerita perjuangan membesarkan sang anak. jika kalian saat ini dan masa kecilmu sering ditimang-timang dan bersuka cita menghabiskan waktu dengan sang ibu, tetapi ibuku punya cerita yang beda tetapi pilu mengaharukan ketika mengandung anak kedua laki-laki (Muhajir).

 Saat itu ibu mengandung kurang lebih 8 bulan yang hampir keluar dari kandungan menghirup udara segar, dan seharusnya seusia itu seorang ibu haruslah duduk manis sambil menjaga kesehatan untuk memepersiapkan sang bayi keluar, tetapi tidak untuk ibu.

Atas dasar tuntutan ekonomi seorang ibu rela bekerja pada orang untuk mencari sesuap nasi, sedangkan bapak juga bekerja didesa orang saat ini menjadi wilayah lamongan perbatasan dengan tuban, yang harus merantau berminggu-minggu tidak pulang kerumah, bahkan waktu itu makan nasi padi saja sangatlah jarang dan keseringannya memakan nasi kuning terbuat dari jagung alami.

Coba kalian bayangkan jika kalian mendengar keluh kesah sang ibu yang memperjuangkan anak masih dalam kandungan berusia delapan bulan namun sang ibu masih berkerja ditengah-tengah sawah dibawah panas teriknya matahari, tetapi sang ibu masih menikmatinya demi memperjuangkan sang anak.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi saat hujan ketika sang ibu disuruh untuk bekerja disawah menanam padi atau tandur dalam istilah jawa, harus berderet-deret ,menancapkan bibit padi sambil memegang perut besar yang sudah hamil kurang lebih 8 bulan.

Bahkan ketika kumendengar cerita ibu, saat mengandung tua hingga saat ibu melahirkan anak kedua tersebut dalam jangka anak berusia 40 hari yang masih berkulit merah harus ditinggalkan karena sebuah kondisi yang mengharuskan untuk bekerja, sedangkan sang bayi dirawat dan didampingi oleh nenek yang kala itu masih hidup.

Atas dasar penuh kesederhanaan latar belakang keluarga, dan atas perjuangan ibu yang begitu jauh kami bersaudara dibesarkan dan harapan sang ibu dulu membersarkan penuh liku, ibu berharap besar kemudian hari kami enam bersaudara dapat hidup lebih baik, dan berharap kepahitan itu cukup dialami oleh orang tua/ibu demi kebaikan dan masa depan anak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar